RSS

Memahami Kaidah Al Jarhul Mufassar Muqaddamun Alatta’diil dan Sikap Kita di Tengah Kerasnya Gelombang Fitnah

26 Des

Oleh: Ustadz Abdullah bin Taslim

  

Pertanyaan:

  1. Ustad, bisa dijelaskan konsep al-jarh al-mufassar muqoddam ala at-ta`dil, yang biasa diterapkan sekelompok kaum dalam konflik beda ijtihad ulama dalam kasus seperti ihya turots ini?
  2. Ustad, apakah Syaikh Rabi’ bin Hadi hafidzahullah termasuk deretan kibarul ulama senior atau paling senior di saudi. Dan ada konsensus bersama para ulama bahwa pendapt jarh Syaikh Rabi` mesti di sepakati ulama lain, berdasar ucapan Syaikh Albani bahwa pembawa bendera jarh ta`dil zaman ini adalah beliau.

Jawaban Ustadz:

PERTAMA

Sebelum ana menjawab pertanyaan antum, terlebih dahulu ana ingin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al jarh al mufassar adalah kritikan (celaan) yang terperinci dengan menjelaskan sebab-sebab kritikan tersebut. Penjelasan sebab-sebab ini sangat dibutuhkan karena bisa jadi seorang imam ahlul hadits mengkritik seorang perawi dengan satu sebab, padahal sebab ini menurut para imam ahlul hadits lainnya bukan termasuk sebab yang menjadikan dikritiknya seorang perawi, apalagi sampai ditolak riwayat haditsnya, oleh karena itu menjelaskan sebab-sebab kritikan sangat diperlukan untuk tujuan ini, apalagi jika kritikan tersebut bersumber dari seorang imam yang disifati para ulama lainnya sebagai imam yang mutasyaddid (terkenal keras dan mudah mengkritik perawi dengan sebab-sebab yang menurut para imam lainnya tidak mempengaruhi kedudukan seorang perawi).

Keterangan di atas merupakan ringkasan dari keterangan para ulama ahlul hadits, seperti Al Hafizh Abu Bakr Al Khathiib Al Baghdadi dalam kitab beliau “Al Kifaayah fii ‘ilmir riwaayah” (hal. 107-109, cetakan Al Maktabatul ‘ilmiyyah, tanpa tahun), Al Hafizh Ibnush Shalaah dalam kitab beliau “Al Muqaddimah fii ‘uluumil hadits” (hal. 51, cet. Daarul kutubil ‘ilmiyyah, thn 1398 H), Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalaani dalam kitab beliau “Nuzhatun nazhar” (hal. 93, cet. Daaru Ibnul Jauzi, tahqiiq: Syaikh ‘Ali Hasan Al Halabi) dan lain-lain. Bahkan Al Khatiib Al Baghdadi dalam kitab beliau di atas mengatakan bahwa keharusan menyebutkan sebab-sebab kritikan adalah pendapat para imam ahlul hadits yang terkemuka seperti Imam Al Bukhari, Muslim bin Al Hajjaj, Abu Dawud As Sijstaani dan lain-lain, oleh karena itulah para imam di atas menshahihkan riwayat-riwayat beberapa perawi hadits yang dikritik oleh para ulama ahlul hadits lainnya, seperti ‘Ikrimah, Suwaid bin Sa’id dan lain-lain, karena mereka menganggap bahwa sebab kritikan tersebut tidak jelas dan tidak mempengaruhi kedudukan para perawi tersebut.

Adapun kaidah yang antum sebutkan “Al Jarhul mufassar muqaddamun ‘alat ta’diil” (kritikan/celaan yang dijelaskan sebabnya lebih didahulukan dari pada pujian), maka ini adalah kaidah ilmu hadits (khususnya ilmu tentang jarh dan ta’dil) yang benar dan dikuatkan oleh mayoritas ulama ahlul hadits, seperti yang dijelaskan dalam kitab-kitab yang ana sebutkan di atas. Kaidah ini digunakan ketika terjadi perbedaan pendapat dalam menilai dan menghukumi seorang perawi hadits (termasuk dalam hal ini menilai dan menghukumi perorangan atau kelompok tertentu). Akan tetapi, pada prakteknya kaidah ini banyak disalahpahami dan disalahgunakan oleh sebagian kalangan untuk mendukung pemahaman dan pendapat mereka. Para ulama ahlu sunnah dalam menerapkan kaidah ini, selalu menggandengkannya dengan kaidah-kaidah ilmu hadits lainnya dan berusaha untuk mengompromikan semua kaidah tersebut serta tidak mempertentangkan satu sama lainnya. Di antara kaidah-kaidah lain yang perlu diperhatikan dalam menerapkan kaidah di atas ketika terjadi perbedaan pendapat (ada yang memuji dan ada yang mencela) adalah:

Keharusan menjelaskan sebab-sebab kritikan/celaan tersebut, karena kritikan yang tidak disertai penjelasan sebab-sebab tidak diterima, kecuali jika perawi yang dikritik tersebut tidak didapati seorang imam ahlul hadits pun yang menta’dilnya (memuji/menganggapnya tsiqah/tepercaya), maka dalam kondisi seperti ini kritikan yang tidak disertai penjelasan diterima jika bersumber dari seorang imam ahlul hadits yang membidangi masalah ini, seperti yang dijelaskan oleh Al Haafizh Ibnu Hajar dalam kitab beliau “Nuzhatun nazhar” (hal. 93). Kemudian penjelasan sebab tersebut juga harus dilihat kembali, apakah benar sebab tersebut termasuk sebab-sebab yang mempengaruhi kedudukan seorang perawi/tidak? Karena betapa banyak kritikan terhadap perawi hadits yang ternyata setelah diteliti sebab kritikan tersebut tidak mempengaruhi kedudukan perawi tersebut, padahal beberapa di antara kritikan tersebut bersumber dari imam ahlul hadits yang terkenal dan membidangi ilmu jarh dan ta’dil, apalagi yang selain mereka.

Imam Al Khathib Al Baghdadi menyebutkan beberapa contoh kasus dalam masalah ini dalam kitab beliau “Al Kifayah” (hal. 110), di antaranya beliau membawakan kisah dengan sanad beliau dari Muhammad bin Ja’far Al Madaaini bahwa Syu’bah bin Al Hajjaaj pernah ditanya: “Mengapa engkau meninggalkan (melemahkan) hadits (riwayat)nya si Fulan?” Maka Syu’bah menjawab, “(Karena) aku pernah melihat dia (menunggangi dan) memacu al birdzaun (sejenis kuda pengangkut beban), maka aku pun meninggalkan haditsnya”. Perkara yang disebutkan oleh Imam Syu’bah dalam mengkritik rawi tersebut jelas bukan merupakan sebab yang mempengaruhi kedudukan seorang perawi, apalagi sampai menjadikan riwayatnya lemah, padahal Syu’bah bin Al Hajjaaj adalah imam ahlul hadits dan ahli jarh dan ta’dil yang sangat terkenal, sampai-sampai Imam Sufyan Ats Tsauri menggelari beliau sebagai “Amiirul mu’miniin fil hadits” (pemimpin kaum mukminin dalam bidang hadits), bahkan Imam Ahmad bin Hambal mengatakan: Syu’bah adalah imam satu-satunya dalam bidang/ilmu ini, yaitu ilmu tentang perawi hadits dan pengetahuan yang dalam tentang hadits serta ketelitian dalam menilai dan menyeleksi para perawi hadits. Dan masih banyak pujian-pujian lain tentang beliau dari para ulama ahlul hadits yang dinukil oleh Al Hafizh Abul Hajjaaj Al Mizzi dalam kitab beliau “Tahdziibul Kamaal” (12/489-495, cet. Muassasatur risalah, 1413 H).

Demikian pula kisah Yahya bin Ma’in yang mencela ‘Aamir bin Shaleh karena dia mendengar hadits dari orang yang lebih muda dari dia, padahal Yahya bin Ma’in adalah imam ahlul hadits dan ahli jarh dan ta’dil yang sangat terkenal, sampai-sampai Imam Ahmad memujinya dengan mengatakan bahwa Allah ta’ala menciptakan Yahya bin Ma’in (khusus) untuk ilmu jarh dan ta’dil . Dan masih banyak contoh lain yang serupa yang disebutkan oleh Al Khathiib dalam kitab beliau di atas.

Sekarang kalau kita perhatikan kritikan bahkan celaan keras dan kasar yang dilakukan oleh beberapa ikhwan kita di Indonesia dengan mengatasnamakan kaidah ini, yang kritikan tersebut terkadang dijelaskan sebab-sebabnya –meskipun mayoritas penjelasan sebab-sebab tersebut dipaksakan dengan menghubung-hubungkan sesuatu yang sebenarnya tidak berhubungan– ternyata kita dapati sebab-sebab yang melandasi kritikan-kritikan tersebut sama sekali bukan termasuk sebab yang menjadikan seseorang dicela, apalagi dihukumi keluar dari manhaj Ahlusunnah, karena sebab-sebab yang mereka sebutkan itu –seperti masalah berhubungan dengan yayasan Ihyaut Turats– adalah masalah yang diperselisihkan oleh para ulama Ahlusunnah sendiri, yang kalau seandainya masalah ini menyebabkan seseorang dicela, maka mestinya para ulama yang membolehkan mengambil bantuan tersebut yang harus lebih dahulu dicela, karena orang-orang yang mengambil bantuan tersebut menyandarkan hal ini kepada fatwa para ulama tersebut! Para ulama Ahlusunnah yang melarang mengambil bantuan tersebut, yang sering mereka jadikan sandaran dalam kritikan dan celaan mereka, seperti Syaikh Rabi dan Syaikh Muhammad bin Hadi –semoga Allah ‘azza wa jalla menjaga keduanya–, kita dapati sikap para ulama ini sangat berbeda dengan sikap mereka dalam masalah ini, karena para ulama tersebut ternyata tidak menjadikan masalah mengambil bantuan tersebut sebagai sebab yang bisa menjadikan seseorang dicela apalagi dicap sebagai hizbi atau sururi –selama orang tersebut tidak terpengaruh dengan penyimpangan manhaj yang ada pada yayasan-yayasan tersebut–, buktinya mereka tidak mencela para ulama lain yang membolehkan mengambil bantuan tersebut, meskipun di antara mereka ada yang mengingkari pendapat tersebut dengan keras, seperti yang sudah ana jelaskan dalam jawaban pertanyaan tentang Sururiyyah (lihat artikel “Fitnah Sururiyah” –red).

Adapun mereka yang di Indonesia, kita dapati mereka menjadikan hubungan/mengambil bantuan dari yayasan-yayasan tersebut semata-mata sebagai sebab yang bisa menjadikan seseorang keluar dari manhaj Ahlusunnah, bahkan lebih daripada itu, orang lain yang tidak ikut mengambil bantuan dari yayasan-yayasan tersebut, kalau dia dinilai punya hubungan dengan orang-orang yang mengambil bantuan tersebut, apalagi dinilai membela mereka, maka dia pun akan dicap sebagai hizbi atau sururi! Buktinya dalam daftar ustadz-ustadz berbahaya yang mereka tulis dan sebar luaskan, kita dapati banyak ustadz-ustadz yang mereka cap sebagai hizbi hanya semata-mata karena punya hubungan dengan yayasan-yayasan tersebut atau berteman dengan orang yang punya hubungan dengan yayasan-yayasan tersebut, bahkan sebab tunggal ini mereka cantumkan di atas daftar nama-nama tersebut sebagai berikut: “Berikut nama-nama da’i berkedok salafy padahal terlibat permasalahan dengan ihya ut turats, al haramain, al sofwah”, kenapa tidak sekalian mereka menyebutkan juga “daftar nama-nama ulama Ahlusunnah yang berkedok salafi padahal terlibat permasalahan dengan Ihyaut Turats, Al Haramain, Al Sofwah, karena membolehkan berhubungan/mengambil bantuan dari yayasan-yayasan tersebut”?

Ana sendiri tidak mengingkari bahwa di antara orang-orang yang mereka cap sebagai sururi/hizbi karena berhubungan dengan yayasan-yayasan tersebut, ada yang benar-benar bisa dikatakan sururi/hizbi atau mungkin bahkan ikhwani, akan tetapi yang ana permasalahkan adalah tuduhan mereka terhadap ustadz-ustadz yang kita kenal bermanhaj salaf, dan mereka sendiri pun mengakui bahwa ustadz-ustadz tersebut –minimal– dulunya sebelum terjadi fitnah dan perselisihan, adalah ustadz-ustadz Salafiyin yang sering mengisi dauroh/pengajian bersama-sama, dan ana sendiri sempat mengalami masa-masa indah ini, menghadiri dauroh bersama ustadz-ustadz tersebut di tahun 1994-1995 M, bahkan seperti Ustadz Yazid Jawwas dulu termasuk staf pengajar di ponpes kami Ihyaus Sunnah, Degolan, Yogyakarta, demikian pula Ustadz Aunur Rafiq Ghufran pernah mengajar di pondok kami tersebut. Semoga Alloh ta’ala kembali mempersatukan ustadz-ustadz Salafiyin tersebut di atas manhaj salaf ini, Amiin.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa ustadz-ustadz tersebut asalnya adalah salafiyyun dengan yakin, yang mestinya diperlakukan dan disikapi lain dengan orang-orang yang di luar manhaj salaf karena ada kaidah fikih yang disepakati oleh para ulama yang berbunyi:

اليقين لا يزول بالشك

Sesuatu yang yakin itu tidak boleh dihilangkan dengan sesuatu yang bersifat ragu-ragu/tidak yakin

Artinya –dalam masalah ini– sebagaimana kita tidak mudah memasukkan seseorang yang kita yakini asalnya bukan Ahlusunnah ke dalam manhaj Ahlusunnah/salaf, kecuali dengan bukti-bukti yang jelas dan meyakinkan, demikian pula sebaliknya, kita tidak mudah mengeluarkan dari manhaj Ahlusunnah seseorang yang kita yakini asalnya adalah Ahlusunnah, kecuali dengan bukti2 yang jelas dan meyakinkan pula. Meskipun kita anggap orang tersebut mempunyai kesalahan besar sekalipun, bukankah para Imam besar Ahlusunnah banyak di antara mereka yang punya ketergelinciran bahkan kesalahan besar yang menyangkut masalah-masalah akidah yang disepakati dalam manhaj Ahlusunnah, akan tetapi hal tersebut tidak menjadikan mereka dihukumi oleh para ulama Ahlusunnah keluar dari manhaj salaf, karena mempertimbangkan manhaj mereka yang lurus dan benar, sehingga kesalahan-kesalahan tersebut dinilai bukan karena sengaja dan bukan karena membenci Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan manhaj para sahabat rodhiallohu ‘anhu? Seperti kesalahan Imam Al Baihaqi, Imam An Nawawi, Al Hafizh Al ‘Iraqi, Al Hafizh Ibnu Hajar dan lain-lain dalam masalah menta’wil sifat-sifat Alloh ta’ala, bahkan sebagian besar ulama yang menulis syarah (penjelasan) kitab-kitab hadits yang terkenal, seperti “Al Muwaththa” karya Imam Malik, shahih Bukhari, shahih Muslim dan lain-lain terjerumus dalam kesalahan ini, kecuali hanya beberapa yang selamat di antara mereka seperti Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnul Qayyim Al Jauziyyah dan Ibnu Rajab Al Hanbali –semoga Allah ta’ala merahmati mereka semua–.

Oleh karena itu, Imam Abu Muhammad Al Barbahari dalam kitab beliau “Syarhus Sunnah” (hal. 62, cet. Daarus salaf, 1421 H, tahqiq: Syaikh Khalid Ar Radaadi) mengatakan: “Ketahuilah, (orang yang) menyimpang dari jalan yang benar itu (orang yang berbuat salah) ada dua macam:

Pertama, Orang yang tergelincir (tidak sengaja) keluar dari jalan yang benar, padahal dia tidak menginginkan kecuali kebaikan (maksudnya: orang tersebut asalnya adalah Ahlusunnah), maka tidak boleh kita mengikuti ketergelincirannya, karena dia salah (dalam masalah tersebut).

Kedua, orang yang kedua, yaitu orang yang sengaja menentang kebenaran dan menyelisihi (manhaj) orang-orang yang bertakwa sebelum dia (para Salafus shaleh), maka dia ini adalah orang yang sesat dan menyesatkan, (bahkan dia adalah) setan yang durhaka di umat ini, wajib bagi orang yang mengetahui keadaannya untuk menjelaskan dan mengingatkan orang lain untuk menjauhinya agar kebid’ahannya tidak diikuti orang lain, sehingga dia akan binasa.

Penjelasan ucapan Imam Al Barbahari ini –alhamdulillah– ana dengar langsung dari Syaikh ‘Ubaid Al Jaabiri –semoga Allah ‘azza wa jalla menjaganya– dalam pengajian beliau membahas kitab ini di masjid ‘Utsmaan bin ‘Affaan rodhiallohu ‘anhu di Madinah, beliau mengatakan bahwa ucapan ini adalah timbangan yang adil dan benar (dalam menyikapi kesalahan orang lain). Dalam ucapan ini Imam Al Barbahari menjelaskan keharusan kita membedakan sikap dalam menilai kesalahan orang yang asalnya Ahlusunnah dan selain Ahlusunnah, karena orang yang asalnya Ahlusunnah, meskipun kita wajib mengingkari dan menjelaskan kesalahan-kesalahannya, akan tetapi kita tetap harus menjaga nama baik dan kehormatannya, kecuali jika telah terbukti dengan jelas dan yakin bahwa dia telah keluar dari manhaj Ahlusunnah. Bukankah banyak sekali ayat-ayat Al Quran dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam serta atsar para salafus shaleh yang berisi anjuran untuk memaafkan ketergelinciran orang lain, berlaku lemah lembut dan bersangka baik kepada mereka dengan membawa ucapan dan perbuatan mereka kepada kemungkinan yang terbaik selama masih bisa kita lakukan?

Kalau semua itu tidak kita terapkan kepada saudara kita sesama Salafiyin, lantas kepada siapa lagi kita terapkan? Dan kalau demikian apa keistimewaannya seseorang menjadi Ahlusunnah kalau ternyata dalam menyikapinya sama dengan kita menyikapi ahlul bid’ah? Memang betul sewaktu kita membicarakan ahlul bid’ah kita tidak perlu mempertimbangkan dan menyebutkan kebaikan mereka, karena tujuan kita adalah memperingatkan orang lain untuk menjauhi ahlul bid’ah tersebut sekaligus menjauhi perbuatan bid’ahnya, akan tetapi waktu kita membicarakan Ahlusunnah dan kesalahan-kesalahan mereka tujuan kita adalah untuk menjauhkan orang lain dari kesalahan-kesalahan tersebut, bukan menjauhi orangnya! Oleh karena itu kita harus tetap menjaga nama baiknya dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya, agar dia nantinya tidak dicap sebagai ahlul bid’ah!

Kalau semua itu tidak kita terapkan kepada saudara kita sesama Salafiyin, lantas kepada siapa lagi kita terapkan? Dan kalau demikian apa keistimewaannya seseorang menjadi Ahlusunnah kalau ternyata dalam menyikapinya sama dengan kita menyikapi ahlul bid’ah? Memang betul sewaktu kita membicarakan ahlul bid’ah kita tidak perlu mempertimbangkan dan menyebutkan kebaikan mereka, karena tujuan kita adalah memperingatkan orang lain untuk menjauhi ahlul bid’ah tersebut sekaligus menjauhi perbuatan bid’ahnya, akan tetapi waktu kita membicarakan Ahlusunnah dan kesalahan-kesalahan mereka tujuan kita adalah untuk menjauhkan orang lain dari kesalahan-kesalahan tersebut, bukan menjauhi orangnya! Oleh karena itu kita harus tetap menjaga nama baiknya dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya, agar dia nantinya tidak dicap sebagai ahlul bid’ah!

Kaidah menyikapi kesalahan Ahlusunnah di atas, sebelumnya juga telah ditetapkan oleh para ulama Ahlusunnah, bahkan ini termasuk salah satu kaidah penting dalam ilmu jarh dan ta’dil. Berkata Imam Ahmad bin Hambal: “Semua orang yang telah jelas dan diyakini ‘adaalahnya (ketsiqahannya), tidak terima celaan yang ditujukan padanya (dari siapa pun), kecuali jika orang yang mencela tersebut menjelaskan (perincian) celaan tersebut dengan sebab yang tidak ada kemungkinan lain padanya selain tetapnya celaan tersebut” . Dalam menerangkan kaidah ini Ibnu Hajar menjelaskan bahwa seorang perawi yang telah dinyatakan tsiqah oleh salah seorang dari imam-imam ahli jarh dan ta’dil, tidak diterima celaan yang ditujukan kepadanya, dari siapa pun celaan tersebut, kecuali jika disertai penjelasan sebab-sebab (yang yakin dan jelas), karena orang tersebut telah jelas dan yakin ketsiqahannya, maka ketsiqahan ini tidak bisa dihilangkan darinya kecuali dengan sebab yang jelas (dan yakin pula) .

Ada contoh kasus lain yang terjadi di Indonesia, yang kasus ini menunjukkan kepada kita betapa banyaknya orang yang menerapkan kaidah yang antum sebutkan itu secara ngawur dan asal-asalan. Kasus ini terjadi sebelum sebagian dari ikhwan Salafiyin mencetuskan wajibnya jihad di Maluku , yaitu tuduhan dan celaan keras terhadap saudara kami yang mulia Ustadz Muhammad Arifin Badri, yang dianggap oleh ikhwan-ikhwan tersebut sebagai biang kerok penggembos jihad di Maluku dan dituduh sebagai tokoh kelas satu yang mempengaruhi para ulama Ahlusunnah di madinah sehingga mereka tidak memfatwakan wajibnya jihad tersebut karena tidak adanya izin dari pemerintah pada waktu itu. Kami yang waktu itu ada di Madinah –bahkan termasuk beberapa tokoh mereka saat ini yang waktu itu masih kuliah di Madinah– mengetahui persis bahwa tuduhan dan celaan tersebut adalah kebohongan dan kedustaan yang besar! Karena yang dilakukan oleh Ustadz Muhammad Arifin waktu itu, ketika dia mendapatkan berita bahwa Syaikh Muqbil –semoga Allah ta’ala merahmatinya– telah memfatwakan wajibnya jihad tersebut, dia ingin mencari kejelasan masalah ini dengan mendatangi dan bertanya tentang masalah ini –yang pada waktu itu dia tidak sendirian– kepada seorang ulama yang paling senior di Madinah, yaitu Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbaad –semoga Allah ta’ala menjaganya–, yang kemudian Syaikh menjawab bahwa tidak ada jihad di Maluku.  Silahkan membaca koreksi ustadz pada bagian bawah artikel ini (-ed)

Jadi yang dilakukan oleh Ustadz Muhammad Arifin dalam hal ini adalah tindakan yang sangat tepat dan terpuji, karena dia langsung bertanya kepada ulama yang senior dan bukannya lantas berusaha menentang fatwa jihad tersebut dengan pendapatnya sendiri, bahkan ketika masalah ini waktu itu kita ajukan bersama-sama kepada Syaikh Muhammad bin Hadi –semoga Allah ta’ala menjaganya–, beliau sendiri membenarkan tindakan Ustadz Muhammad Arifin tersebut, karena dalam masalah ini dia bertanya kepada ulama Ahlusunnah dan bukan kepada orang awam, ucapan Syaikh ini ana dengar langsung dan juga didengar langsung oleh semua ikhwan Salafiyin yang kuliah di Madinah pada waktu itu, termasuk beberapa di antara mereka yang sekarang menjadi ustadz-ustadz mantan laskar jihad.

Kemudian Ustadz Muhammad Arifin sendiri setelah itu tetap berusaha menasihati ikhwan-ikhwan tersebut dengan cara mengirimkan jawaban para ulama tersebut kepada sebagian ustadz-ustadz besar mereka, tapi balasan apa yang dia dapatkan? Tuduhan keji dan celaan kasar, bahkan bisa dikatakan –kalau melihat lahir ucapan salah seorang tokoh besar mereka–pengkafiran tanpa ragu-ragu langsung mereka lontarkan kepadanya! Kurang lebih ada sekitar sepuluh –ada juga yang mengatakan tujuh, ana sendiri tidak sempat menghitungnya– gelar-gelar buruk yang dicapkan oleh ustadz-ustadz besar mereka pada waktu itu kepada Ust. Muh. Arifin dan ini mereka sebarluaskan dimana-mana, mulai dari gelar “pengembos jihad“, “pengkhianat“, “pendusta“, “Dajjaal (pembohong besar)“, bahkan “munafik” dan gelar-gelar buruk lainnya.

Yang jadi masalah di sini sehubungan dengan contoh penerapan kaidah di atas secara ngawur dan asal-asalan, adalah sebab yang menjadikan mereka mencela Ustadz Muhammad Arifin dengan celaan yang mungkin tidak pernah mereka lontarkan kepada ahlul bid’ah yang paling parah sekalipun, sebab tersebut semata-mata dan satu-satunya adalah masalah jihad di Maluku dan tidak ada sebab lain selain itu, padahal antum semua mengetahui bahwa masalah ini adalah masalah yang diperselisihkan oleh para ulama Ahlusunnah pada waktu itu, jadi seharusnya hal ini tidak boleh dijadikan sebab untuk mengeluarkan seseorang dari manhaj Ahlusunnah. Ana mengatakan bahwa masalah jihad adalah satu-satunya sebab yang menjadikan mereka mencela Ustadz Muhammad Arifin, karena sebelum adanya masalah ini –ana tahu persis– mereka masih menghormati Ustadz Muhammad Arifin, bahkan mereka masih menganggapnya sebagai Ustadz, buktinya sekitar setahun sebelum adanya masalah jihad tersebut, Ustadz Muhammad Arifin termasuk ustadz-ustadz dari Madinah yang diundang untuk memberikan nasihat dan motivasi kepada santri-santri ponpes Ihyaus Sunnah, Yogyakarta, dan ana termasuk yang menghadiri acara tersebut.

Bahkan sekitar setahun setelah masalah ini muncul, ana sempat bertanya kepada salah seorang Ustadz besar mereka: apakah ada kesalahan lain yang dilakukan oleh Ustadz Muhammad Arifin –selain masalah jihad ini– yang menyebabkan dia dicela dan ditahdzir sedemikian rupa? Ustadz tersebut menjawab dengan tegas: Tidak ada, tapi masalah jihad ini sudah cukup menjadi alasan bagi kami untuk mencela dan memperingatkan umat untuk menjauhi dia!?? Coba antum perhatikan, betapa jauhnya perbedaan antara keterangan para ulama Ahlusunnah/ahlul hadits dalam menjelaskan dan menerapkan kaidah di atas dengan celaan dan tahdziran yang mereka lakukan selama ini dengan mengatasnamakan kaidah tersebut, seperti jauhnya perbedaan antara barat dan timur!

Sebenarnya masih banyak contoh-contoh kengawuran lain yang mereka lakukan dan terlalu panjang untuk disebutkan di tulisan ini. Dan kalau antum perhatikan sebenarnya sebab yang mereka jadikan senjata pamungkas mereka untuk mengeluarkan (baca: mem-PHK) orang lain dari manhaj Ahlusunnah, bukan hanya satu sebab, jadi bukan cuma masalah yang berhubungan dengan mengambil bantuan saja, buktinya orang-orang yang tidak mengambil bantuan pun mereka cela dan tahdzir dengan keras, contohnya Ustadz Muhammad Arifin yang mereka tetap tahdzir dengan keras meskipun Laskar Jihad sudah bubar, dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, bahkan salah seorang dari ustadz-ustadz mereka melontarkan tuduhan dusta -dan tuduhan ini tertulis– kepadanya bahwa Ustadz Muhammad Arifin di Madinah bermandikan dinar (maksudnya: dia banyak mendapatkan dana bantuan dari Ihyaut Turats kuwait), padahal semua ikhwan Salafiyin yang di Madinah mengetahui bahwa Ustadz Muhammad Arifin termasuk orang yang paling keras melarang mengambil bantuan dari yayasan-yayasan tersebut. Dan sebab-sebab yang mereka jadikan sebagai alasan untuk mentahdzir orang tersebut meskipun kelihatannya bermacam-macam tapi kembalinya kepada satu kesimpulan yaitu: semua perkataan/perbuatan yang mereka anggap tidak sejalan dengan pendapat dan keinginan mereka (baca: hawa nafsu mereka) maka itu adalah kesalahan yang bisa dijadikan sebab –bagi mereka– untuk mencela bahkan mengeluarkan seseorang dari manhaj Ahlusunnah, siapa pun orang itu, baik asalnya Ahlusunnah atau bukan.

Sehingga sering kita dapati adanya saling cela dan tahdzir dengan keras di antara mereka sendiri, bahkan saling mencap sebagai hizbi dan lain-lain, tetapi kemudian setelah diteliti kembali ternyata sikap tersebut jauh dari kebenaran, seperti apa yang tahun lalu mereka lakukan, yang mereka namakan: “Ishlah (perdamaian) di antara Salafiyin” (yang sebenarnya lebih tepat jika dikatakan  (silahkan membaca koreksi ustadz pada bagian bawah artikel ini -mod) dan bukan “ishlah”, padahal sebelumnya mereka sudah habis-habisan saling mencela, mentahdzir dan mencap sebagai hizbi dengan berbagai alasan dan sebab, dan padahal sebelumnya juga mereka sendiri yang mengatakan bahwa mereka tidak mungkin bersatu dan mengadakan ishlah dengan orang-orang yang mereka anggap hizbi dan keluar dari Ahlusunnah. Dan ternyata setelah sebagian dari Masyaikh Ahlusunnah meneliti sebab-sebab yang mereka jadikan alasan untuk saling cela dan tahdzir tersebut, didapati sebab-sebab tersebut sama sekali bukan alasan yang bisa menjadikan seseorang dihukumi keluar dari manhaj Ahlusunnah. Maka sekali lagi ini merupakan bukti nyata –di antara sekian banyak bukti nyata lainnya– yang menunjukkan rancunya mereka dalam memahami dan menerapkan kaidah di atas dan jauhnya sikap mereka dalam masalah ini dari pemahaman dan sikap para ulama Ahlusunnah.

Dan ana ingin tegaskan di sini, bahwa meskipun demikian kita tetap mengatakan bahwa mereka adalah ikhwan kita salafiyyin dan sesama ahlus sunnah, meskipun mereka punya kesalahan besar dalam masalah ini, dan meskipun mereka –bisa dikatakan– orang yang paling keras mencela dan mentahdzir kita, melebihi kerasnya celaan ahlul bid’ah terhadap kita. Dan bagaimanapun juga, hubungan mereka kepada kita lebih dekat dibandingkan dengan orang-orang yang di luar Ahlusunnah meskipun orang-orang tersebut bersikap baik dan lembut kepada kita. Salah seorang ulama salaf berkata: “Mencintai (manusia) karena Allah ta’ala yang hakiki adalah jika kecintaan tersebut tidak bertambah (hanya karena semata-mata) sikap baik orang tersebut kepada kita, sebagaimana kecintaan tersebut tidak berkurang (hanya karena semata-mata) sikap buruk/kasar orang tersebut kepada kita”.

Ana kira jawaban ini sudah terlalu panjang, sebenarnya –sejak awal tulisan ini– ana ingin menambahkan lagi paling tidak dua kaidah yang berhubungan dengan kaidah yang antum tanyakan di atas, akan tetapi karena khawatir terlalu panjang maka ana cukupkan jawaban ana ini.

KEDUA

Adapun tentang Syaikh Rabi’ bin Hadi –semoga Allah ‘azza wa jalla menjaganya–, beliau tidak termasuk ulama yang paling senior di Saudi, karena ulama-ulama lain yang lebih tua dan lebih lama belajar dibanding beliau banyak di Saudi, seperti Syaikh-syaikh sebagai berikut: Shaleh Al Fauzaan, ‘Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh, Shaleh Alusy Syaikh, ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad dan lain-lain, bahkan yang lebih senior dibanding mereka semua, seperti Syaikh Bin Baz dan Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin. Akan tapi ini sama sekali tidak menjadikan rendah kedudukan beliau, karena beliau adalah termasuk ulama Ahlusunnah yang paling gigih dan semangat membela manhaj Ahlusunnah, juga pujian yang disampaikan oleh Syaikh Al Albani tentang beliau bahwa adalah orang yang melalui tangannya Allah ta’ala hidupkan kembali manhaj jarh dan ta’dil di zaman ini. Tapi ini bukan berarti ada kesepakatan dari para ulama untuk menerima semua pendapat jarh beliau (dalam hal ini khususnya jika terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama Ahlusunnah dalam menilai/menghukumi perorangan/kelompok), karena ana sendiri sudah beberapa kali mendapati adanya perbedaan pendapat dalam masalah jarh antara beliau dengan ulama lainnya, seperti Syaikh-syaikh: Muhammad Al ‘Utsaimin, Shaleh Al Fauzan, ‘Abdul Muhsin dan lain-lain, dan sekali lagi ini tidak merendahkan kedudukan beliau, karena para ulama dan imam ahlul hadits yang terdahulu dari kalangan salafus shaleh, ada di antara mereka yang pendapat jarhnya tidak diterima oleh ulama ahlul hadits, kecuali setelah dibandingkan dengan pendapat jarh para ulama ahli jarh dan ta’dil lainnya, seperti Imam-imam sebagai berikut: Syu’bah bin Al Hajjaaj, Yahya bin Sa’id Al Qaththaan, Yahya bin Ma’in, Abu Hatim Ar Raazi, An Nasa’I dan lain-lain, karena mereka ini disifati oleh para ulama ahlul hadits sebagai ulama yang muta’annit/mutasyaddid (terkenal keras dan mudah mengkritik perawi dengan sebab-sebab yang menurut para imam lainnya tidak mempengaruhi kedudukan seorang perawi), sebagaimana sebaliknya ada juga di antara mereka yang pendapat ta’dilnya tidak diterima oleh ulama ahlul hadits, kecuali setelah dibandingkan dengan pendapat ta’dil para ulama ahli jarh dan ta’dil lainnya, seperti Imam-imam sebagai berikut: Al ‘Ijli, At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Haakim dan lain-lain, karena mereka ini disifati oleh para ulama ahlul hadits sebagai ulama yang mutasaahil/mutasaamih (terlalu mudah memuji dan mentsiqahkan perawi dengan sebab-sebab yang menurut para imam lainnya tidak menjadikan seorang perawi dipuji dan ditsiqahkan). Penjelasan masalah ini disebutkan oleh Imam Adz Dzahabi dalam kitab beliau “Dzikru man yu’tamadu qauluhu fil jarhi wat ta’diil” (hal. 158-159, cet. Maktabatur rusyd) dan Imam Ibnu Hajar dalam kitab beliau “An Nukat ‘ala kitab Ibnish Shalaah” (1/482, cet. Darur raayah, tahqiq Syaikh Rabi’ bin Hadi), serta Al Hafizh As Sakhaawi dalam pembahasan beliau “Al Mutakallimuuna fir rijaal” (hal. 132, cet. Maktabatur Rusyd).

Kesimpulannya, pendapat jarh dan ta’dil Syaikh Rabi’ sama seperti pendapat para ulama Ahlusunnah lainnya, diterima jika disertai dengan dalil-dalil yang kuat dan jelas, dan ditolak jika tidak demikian, khususnya jika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, karena kalau para imam besar ahli jarh dan ta’dil yang terdahulu saja, seperti Imam-imam: Syu’bah, Yahya bin Ma’in, An Nasa’i, At Tirmidzi, Al Hakim dan lain-lain, pendapat jarh dan ta’dil mereka harus kita teliti dulu, kalau dalilnya jelas dan kuat diterima, kalau tidak ditolak, apalagi pendapat jarh dan ta’dil para ulama sekarang yang kedudukan mereka jelas di bawah para ulama yang terdahulu. Dan sekali lagi sikap ini sama sekali tidak menjatuhkan kedudukan mereka, bahkan justru menempatkan mereka pada tempat yang sesuai, dengan tidak berlebih-lebihan berfanatik pada semua pendapat mereka, dan juga tidak bersikap kasar dan memandang sebelah mata kepada pendapat mereka. Kalau dalam masalah fikih saja kita melarang keras fanatik yang berlebihan terhadap mazhab tertentu, baik itu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i ataupun Hambali, mengapa dalam masalah jarh dan ta’dil kita harus berfanatik terhadap pendapat orang/kelompok tertentu, bukankah kedua masalah ini sama-sama merupakan masalah agama?

Yang terakhir, sehubungan dengan pertanyaan yang banyak diajukan dalam komentar terhadap tulisan ana tentang ” Fitnah Sururiyyah“, yaitu apakah sudah diupayakan islah di antara ikhwan Salafiyin yang berselisih di Indonesia? Jawabannya: Hal itu sudah dilakukan, bahkan sudah berkali-kali, lebih daripada itu bahkan oleh beberapa ulama Ahlusunnah di Arab Saudi, akan tetapi semua hasilnya nihil, cuma awal-awalnya saja yang kelihatan berhasil. Dan untuk menceritakan masalah ini butuh penjelasan yang panjang.

Sebelum ana akhiri tulisan ini, ana minta maaf pada ikhwan sekalian yang pertanyaannya tidak sempat ana jawab, karena berbagai pertimbangan dan uzur tertentu, demikian juga jika ada kata-kata ana yang kurang berkenan, saran dan kritikan dari antum sangat ana harapkan, utamanya yang berhubungan dengan tulisan-tulisan ana dalam masalah fitnah ini. Terus terang kalau bukan karena banyaknya pertanyaan dan permintaan untuk menulis masalah ini, serta melihat kebutuhan ikhwan Salafiyin di Indonesia untuk mengetahui sikap yang benar dalam masalah ini, apalagi sebagai dampak negatif dari fitnah ini, banyak orang yang kemudian enggan untuk mengambil manfaat ilmu dari para Ustadz Salafiyin di Indonesia, bahkan dari kebanyakan ulama Ahlusunnah zaman sekarang, karena nama baik mereka sudah dicemarkan sedemikian rupa, minimal diragukan kebenaran manhajnya, kalau bukan karena itu semua maka ana tidak akan menulis tulisan tentang masalah ini. Terbukti masalah fitnah ini sudah lama bergulir dan dampaknya sudah lama terasa, tapi baru sekarang ana dan teman-teman mencoba menjelaskan masalah ini, dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, wallahu a’lam.

Madinah, 25 Shafar 1427 H

Abdullah bin Taslim Al Buthoni

UPDATE (6 April 2006)

Koreksi dari ustadz Abdullah bin Taslim terhadap peryataan beliau di atas:

الحمد لله، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء نبينا محمد وعلى آله وأصحابه ومن سار على نهجه إلى يوم الدين. أما بعد

Ikhwan sekalian, sehubungan dengan tulisan ana yang terakhir tentang makna kaidah “Al Jarhul Mufassar Muqaddamun ‘alat Ta’diil”, ada sedikit yang perlu diralat. Ralat ini berhubungan dengan kisah tentang upaya Ustadz Muhammad Arifin Badri dalam mencari kejelasan tentang hukum jihad di Maluku setelah adanya fatwa fardhu ‘ainnya jihad dari Syaikh Muqbil –semoga Allah ta’ala merahmatinya –, dan ralat ini langsung dari Ustadz Muhammad Arifin sendiri. Dalam tulisan tersebut ana katakan: “Bahkan setelah itu dia (Ust. Muh. Arifin) mencoba bertanya lebih terperinci kepada Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimiin dengan menukil dan menyampaikan secara lengkap kepada beliau teks pertanyaan salah seorang Ustadz besar laskar jihad kepada Syaikh Muqbil, tapi jawaban Syaikh Al ‘Utsaimiin tetap tidak berubah (dan kemudian jawaban pertanyaan ini dikirimkan kepada ustadz besar tersebut, tapi kemudian sengaja disembunyikannya)”.

Yang benar dalam kisah tersebut –seperti yang diterangkan oleh Ustadz Muhammad Arifin sendiri– adalah: pertanyaan yang terperinci tersebut, yang mengajukannya kepada Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimiin –semoga Allah ‘azza wa jalla merahmatinya– bukan Ustadz Muhammad Arifin, tapi justru tapi justru Ustadz besar laskar jihad itu sendiri yang mengajukannya, dan kemudian dijawab secara tertulis dan ditandatangani oleh Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimiin, jawaban beliau adalah –seperti yang ana sudah sampaikan– yaitu: jihad di Maluku tidak ada (tidak disyariatkan) karena tidak diizinkan oleh pemerintah pada waktu itu. Jawaban dan tanda tangan Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimiin tersebut dilihat dan dibaca langsung oleh Ustadz Muhammad Arifin, karena jawaban tertulis tersebut dibawa oleh salah seorang ikhwan Indonesia yang tinggal di Qashim (kota tempat tinggal Syaikh Al ‘Utsaimiin) ke Madinah, untuk kemudian jawaban tersebut rencananya akan diserahkan kepada salah seorang mahasiswa di Madinah pada waktu itu (yang sekarang menjadi Ustadz di Indonesia), tapi karena waktu itu ikhwan yang membawa surat ini belum ketemu dengan orang yang dituju (atau mungkin dia sendiri kurang begitu kenal dengan orang tersebut), malah yang ketemu dia terlebih dahulu adalah Ustadz Muhammad Arifin, dan ikhwan itu langsung menyodorkan jawaban tersebut kepada Ustadz Muhammad Arifin, bahkan langsung membukanya di hadapan beliau sehingga bisa langsung dibaca (jadi di sini Ustadz Muhammad Arifin bukan membaca jawaban tersebut secara sembunyi-sembunyi tanpa izin, karena ikhwan itu sendiri yang membukakan jawaban tersebut di hadapannya). Kemudian jawaban tersebut dikirim ke Ustadz besar yang mengajukan pertanyaan itu, tapi kenyataannya –seperti yang sudah ana sampaikan– jawaban tersebut disembunyikan dan tidak pernah terdengar lagi beritanya setelah itu.

Demikian ralat yang ingin ana sampaikan, meskipun sebenarnya tidak mengubah inti dari kisah tersebut –bahkan kenyataan yang sebenarnya justru lebih parah dan menyedihkan daripada apa yang ana sampaikan, karena ternyata Ustadz besar tersebut sendiri yang bertanya dengan terperinci, tapi justru dia sendiri juga yang menyembunyikan jawaban dari Syaikh tersebut–, tapi dalam rangka ingin menyampaikan bukti-bukti yang ana sampaikan dalam tulisan ana apa adanya, maka ana sampaikan ralat ini.

Demikian juga, ana ingin meralat istilah “gencatan senjata” yang ana sebutkan untuk “ishlah” yang mereka lakukan tahun lalu, karena sebagian ikhwan kita menilai istilah tersebut kurang pantas, apalagi dalam ishlah tersebut juga melibatkan beberapa Masyaikh Ahlusunnah. Maka dengan ini ana menyatakan bahwa istilah tersebut lebih baik dihapus dan ditiadakan.

Adapun mengenai uslub/cara ana dalam tulisan-tulisan ana tentang kesalahan ikhwan kita mantan laskar jihad, yang mungkin dinilai agak keras/kurang berkenan, maka terus terang mungkin hal itu banyak dipengaruhi pembawaan pribadi ana, di samping ana sendiri sampai saat ini belum mengetahui cara yang lebih tepat dan bisa diterima dalam menjelaskan dan meluruskan kesalahan mereka itu, selain dari cara yang ana sampaikan dalam tulisan-tulisan ana tersebut, maka sekali lagi saran dan masukan dari ustadz-ustadz dan ikhwan-ikhwan sekalian ana sangat harapkan untuk perbaikan dalam masalah ini

Terakhir, untuk kesekian kalinya ana tegaskan bahwa kritikan kita terhadap ikhwan-ikhwan kita mantan laskar jihad adalah hanya dalam masalah sikap keras mereka yang berlebihan terhadap sesama Ahlusunnah yang berbeda pendapat dengan mereka, bukan dalam masalah manhaj Ahlusunnah secara keseluruhan. Artinya, kita tetap meyakini bahwa mereka adalah ikhwan kita Salafiyin yang lebih baik daripada orang-orang yang di luar Ahlusunnah. Ini juga berarti bahwa pengajian-pengajian yang mereka adakan lebih baik untuk dihadiri selama yang dominan dalam pengajian-pengajian tersebut adalah pembahasan masalah ilmu dari Al Quran dan As Sunnah berdasarkan pemahaman ulama Salaf, bukan masalah yang berhubungan dengan kesalahan mereka, sebagaimana sikap para ulama Ahlusunnah terhadap kesalahan-kesalahan para ulama Ahlusunnah lainnya, yaitu kita tetap membaca dan mengambil manfaat ilmu dari kitab-kitab tulisan para ulama tersebut, dengan tetap berhati-hati dan menjauhi hal-hal yang berhubungan dengan kesalahan dan ketergelinciran mereka.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Desember 26, 2008 inci ZZ..BANTAHAN..ZZ

 

Tinggalkan komentar