RSS

Bantahan untuk Luqman Ba’abduh dan Buku Mereka Adalah Teroris

11 Des

mat
Oleh : Dr. Muhammad Arifin Badri

Assalamu’alaikum warahmatullah.

Banyak komentar yang menyatakan bahwa kawan-kawan yang pernah tergabung dalam FKAWJ & LJ sudah bertaubat termasuk saudara Luqman Ba’abduh dari berbagai kesalahan yang disebutkan, lantas mengapa kok masih juga diungkit-ungkit?

Jawaban: benar demikian yang saja dengar dan baca, dan ini bukanlah hal yang baru bagi saya, akan tetapi saya masih merasa sikap taubat tersebut masih tidak sempurna, dengan sebab beberapa hal berikut:

Betapa banyak dari saudara-saudara kita yang dimusuhi, diklaim sururi atau dinyatakan sebagai ahlul bid’ah hanya karena menyelisihi dan tidak sudi untuk andil dalam apa yang mereka sebut-sebut sebagai jihad, akan tetapi hingga kini tidak ada perubahan sikap dari saudara-saudara kita mantan FKAWJ & LJ.
Dahulu dan hingga saat ini saudara-saudara kita yang pernah tergabung di FKAWJ& LJ senantiasa mengatakan bahwa jihad mereka berdasarkan fatwa ulama’, sampai-sampai terkesan itu adalah sikap seluruh ulama’ sehingga mereka menganggap orang yang tidak sepaham dengan jihad mereka dianggap telah menggembosi jihad yang syar’i. Padahal setiap orang tahu bahwa ulama’ tidak semuanya sepakat dengan pendapat tersebut, bahkan kebanyakan ulama’ tidak menyetujui jihad Ambon tersebut, termasuk Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Abdul Muhsin Al Abbad, Sholeh As Suhaimy, dan ulama’-ulama’ lainnya. Sehingga semestinya ada upaya untuk meluruskan fakta ini dan upaya pembersihan nama saudara-saudara mereka yang telah mereka tuding secara sepihak tanpa alasan yang dibenarkan telah menggembosi jihad syar’i. Nyatanya hingga saat ini hal tersebut tidak terjadi.
Lebel “Ihyaut Turats”. Setiap atau kebanyakan orang yang dimusuhi oleh saudara-saudara kita yang pernah tergabung dengan FKAWJ & LJ senantiasa dituding-tuding berlimang-limang atau berenang di riak-riak dinar “Ihyaut Turats” atau menjadi dai “Ihyaut Turats”, sampai-sampai hal ini seakan-akan menjadi suatu prinsip dalam aqidah saudara-saudara kita yang pernah tergabung dalam FKAWJ & LJ. Padahal setiap dari kita sudah tahu bahwa para ulama’ berselisih pendapat dalam hal ini, dan tidak setiap orang menerima dana dari mereka apalagi menjadi da’inya. Secara pribadi saya setuju untuk tidak menerima dana dari mereka, demi menjaga persatuan dan kesatuan salafiyyin di Indonesia, walau demikian, tidak berarti saya harus memusuhi setiap orang yang menerima dari mereka, sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh Syeikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaily.

Karena beberapa hal di atas dan juga yang lainnya, maka kami masih merasa perlu untuk mengingatkan saudara-saudara kita akan pentingnya introspeksi

Oleh karena itu kami masih merasa perlu untuk mengingatkan akan pentingnya koreksi diri sehingga ruju’ kepada kebenaran dapat terwujud dengan sebaik-baiknya, bukan dengan cara dipilah-pilah. Ini bukan berarti kami beranggapan bahwa kami adalah yang terbenar dan bersih dari kesalahan, kami yakin bahwa kami memiliki kesalahan dan banyak kekurangan, akan tetapi itu tidak menjadi penghalang bagi kami untuk menyampaikan nasehat dan kritikan yang membangun.Dan perlu kami tegaskan sekali lagi bahwa secara global kami setuju dan sepaham dengan pemaparan saudara Luqman Ba’abduh dalam bukunya tersebut, dan kami mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada beliau dan seluruh saudara-saudara kami yang telah ikut andil dalam penulisan buku beliau tersebut.

Semoga Allah melimpahkan taufiq dan ‘inayahnya kepada kita semua, sehingga kita dapat berjiwa besar dan menerima kebenaran dari manapun datangnya.
Koreksi Buku Mereka Adalah Teroris

Adapun buku karya Saudara Luqman Ba’abduh, maka secara garis besar, kami sepakat dengan muatan ilmiyahnya, hanya saja pada kesempatan ini, kami hanya ingin menyampaikan tiga kritikan kepada saudara Luqman Ba’abduh, semoga dengan tiga kritikan ini karya tulis beliau semakin bermanfaat bagi kaum Muslimin di Indonesia secara umum, dan saudara-saudaraku yang telahmengenal manhaj salaf secara khusus:

Kritikan pertama: Penggunaan Kata “Teroris”

Kata “teroris” tidak pernah ada dalam kamus kaum muslimin, terlebih-lebih para ulama’ ahlis sunnah wal jama’ah. Kata “teroris” bukan hanya tidak ada dalam kamus umat Islam, akan tetapi kata tersebut lebih sering digunakan untuk menjelek-jelekkan umat islam secara umum, dan ahlis sunnah secara khusus. Ahlus sunnah dimana-mana senantiasa mereka hantui dengan tuduhan-tuduhan semacam ini. Oleh karena itu hingga saat ini musuh-musuh Islam beranggapan dan mempropagandakan bahwa pusat teroris adalah negara tauhid dan negara yang berdiri di atas dasar aqidah Ahlis sunnah wal jama’ah, yaitu Saudi Arabia.

Padahal setiap orang tahu betapa besar teror dan kekejaman yang telah dilakukan oleh Israel dan anteknya yaitu Amerika dan konco-konconya terhadap uamt manusia secara umum dan umat islam secara khusus. Betapa banyak darah manusia yang telah mereka tumpahkan?

Akan tetapi kenapa umat islamlah yang saat ini selalu dicurigai sebagai teroris, atau dituduh berpaham teroris?!

Dahulu mereka senantiasa menghantui umat Islam secara umum dan ahlis sunnah secara khusus dengan kata “fundamentalis” dan sekarang mereka menghantui mereka dengan kata “teroris”. Momok semacam ini senantiasa diarahkan kepada umat islam, dan tidak pernah ditujukan kepada selain mereka.

Fakta ini telah menjadi bagian nyata dari kehidupan umat islam di mana-mana, sehingga menurut hemat kami tidak lagi memerlukan pembuktian. Dan saya yakin saudara Luqman mengetahui akan hal ini.

Bila demikian ini halnya, maka tidaklah layak bagi seorang muslim untuk ikut membeo, taklid dan latah dengan selain mereka sehingga menggunakan kata-kata sesat ini.

Sikap latah semacam ini termasuk cermin lemahnya kepribadian dan akidah seseorang. Oleh karena itu jauh-jauh hari Nabi shallallahu ‘alaihi sallam telah memperingatkan kita dari sikap semacam ini, sampai-sampai beliau bersabda:

(من تشبه بقوم فهو منهم) رواه أحمد وابن أبي شيبة وغيرهما وصححه الألباني

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia tergolong dari mereka”. Riwayat Ahmad, Ibnu Abi Syaibah dll, serta dishahihkan oleh Al Albani.

Larangan menyerupai selain umat Islam bukan hanya pada perilaku, penampilan, keyakinan, ibadah, ucapan, bahkan mencakup segala aspek kehidupan kita. Sebagai salah satu penerapannya Allah Ta’ala melarang kaum muslimin untuk menyerupai orang-orang yahudi dalam hal ucapan :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقُولُواْ رَاعِنَا وَقُولُواْ انظُرْنَا وَاسْمَعُوا ْوَلِلكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ البقرة 104

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad), “Raa’ina,” tetapi katakanlah, “Unzhurna,” dan “Dengarlah.” Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” Al Baqarah 104.

Kata “raa’ina” dalam bahasa arab berartikan : “perhatikanlah/tunggulah kami” akan tetapi kata ini dapat diplesetkan menjadi “ra’unah” yang artinya dungu.

Allah Ta’ala pada ayat ini melarang kaum muslimin untuk mengucapkan kata ‘raa’ina” karena dahulu orang-orang Yahudi mengucapkan kata ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi sallam memngesankan mereka meminta kepada beliau shallallahu ‘alaihi sallam agar tidak terlalu cepat ketika berbicara, akan tetapi mereka memelesetkannya, sehingga mereka denganya menghina Nabi shallallahu ‘alaihi sallam dengan anggapan dungu. Umat Islam di larang mengucapkan kata ini, walaupun maksud mereka benar dan tidak ada niat keji semacam ini, guna menghindari segala hal yang menyerupai perbuatan orang-orang

Ibnu katsir setelah menyebutkan hadits di atas berkata: “Pada hadits ini terdapat larangan keras, ancaman tegas dari menyerupai orang-orang kafir dalam ucapan, perilaku mereka, pakaian, hari perayaan, peribadatan dan urusan mereka lainnya yang tidak disyari’at kepada kita dan tidak juga kita diizinkan untuk melakukannya.”([1])

Larangan untuk menyerupai kelompok sesat bukan hanya berlaku pada menyerupai kaum kafir semata, bahkan menyerupai ahlil bid’ahpun kita dilarang.([2]) Oleh karena itu dahulu para ulama’ tidaklah menggunakan istilah-istilah hasil rekayasa ahlul bid’ah, kecuali dalam kesempatan tertentu dan dalam batasan tertentu pula. Ini semua demi menjaga pemahaman, persepsi dan kepribadian umat Islam secara umum dan ahlus sunnah secara khusus.

Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafy: “Mengungkapkan kebenaran dengan menggunakan istilah-istilah yang diajarkan dalam syari’at Nabi dan yang diturunkan oleh Allah, adalah metode/manhaj Ahlus sunnah wal Jama’ah.([3])

Oleh karena itu amat mengherankan bila saudara Luqman yang berpenampilan ganas dan garang dalam memperjuangkan as sunnah atau akidah atau manhaj ahlis sunnah dan memerangi bid’ah ternyata amat mudah dan dengan perasaan tak bersalah membeo dengan orang-orang lain sehingga ikut-ikutan menggunakan kata “teroris”.

Ditambah lagi, saudara luqman pasti tahu bahwa masyarakat internasional hingga saat ini tidak pernah menyepakati akan definisi dan kriteria “teroris”. Masing-masing negara atau organisasi yang ada menggunakan kata ini selaras dengan pemahamannya masing-masing. Oleh karena itu tidak sepantasnya sebagai seorang da’i untuk menggunakan suatu kata yang memiliki banyak penafsiran dan diperselisihkan kandungannya. Sehingga kata ini dapat diartikan selaras dengan alhaq/kebenaran, dan juga dapat diartika dengan pemahaman yang menyelisihi al haq, dan bahkan malah menghancurkan al haq.

Diantara metode Ahlus sunnah, adalah tidak menggunakan kata-kata semacam ini kecuali setelah menjelaskan dan merinci kandunganya, sehingga tidak menimbulkan kesalah pahaman dan kerancuan (talbis&tadlis). Dan hal ini tidak pernah dilakukan oleh saudara Luqman, sehingga sikapnya ini dapat menimbulkan salah penafsiran tentang kata “teroris”. Bahkan saudara Luqman dalam banyak kesempatan menafsirkan kata “teroris’ dengan “khowarij”. Misalnya pada ucapannya berikut ini: “Pdahal jelas-jelas dengan tegas Rasulullah shallallahu ‘alaihi sallam telah menyatakan bahwa para khawarij/ teroris itu sebagai anjing-anjing jahannam.” (Mereka adalah teroris 14, cet II)

Penafsiran ini bila dipandang dari kaca mata ahlis sunnah, perlu ditinjau ulang dari berbagai sisi pandang, diantaranya dari sisi pendalilan, sehingga dikatakan kepada saudara Luqman: apa dalil anda bahwa khowarij adalah sinonim dengan teroris? Siapakah panutan anda dalam penafsiran ini? Dst.

Tatkala menjabarkan tentang sikap ahlis sunnah terhadap berbagai istilah yang digunakan oleh ahlul bid’ah dalam permasalahan asma’ dan sifat Allah Ta’ala, Ibnu Taimiyyah berkata: ” Adapun kata-kata yang diperselisihkan kandungannya oleh para pencetusnya sendiri dari kalangan orang-orang mutaakhirin, misalnya kata: Al Jismu, Al Jauhar, Al Mutahayyiz, Jihah([4]), dan kata-kata yang serupa dengannya, maka tidaklah sepatutnya untuk diingkari secara mutlak dan tidak juga diakui secara mutlak, sampai ditilik maksud pengucapnya. Bila ia memaksudkan dari penetapan dan pengingkaran kata tersebut suatu makna yang benar lagi selaras dengan yang telah dikabarkan oleh Rasulullah r, maka makna yang ia inginkan dari kata tersebut kita akui/benarkan, akan tetapi seyogianya dia mengungkapkan makna tersebut dengan kata-kata yang telah disebutkan dalam dalil. Tidak sepatutnya ia menggunakan kata-kata hasil rekayasa lagi bersifat global semacam ini, melainkan pada saat diperlukan saja, dengan disertai berbagai qarinah (pertanda) yang menunjukkan akan maksudnya…..Adapun bila yang ia maksudkan adalah suatu makna yang batil, maka makna tersebut harus diingkari, dan bila kata tersebut mengandung makna yang benar dan batil secara bersamaan, maka makna yang benar diakui dan yang batil diingkari.”( Minhajus Sunnah oleh Ibnu Taimiyyah 2/554-555.)

Demikianlah seyogyanya kita mensikapi kata “teroris”, tidaklah kita menggunakannya kecuali setelah merinci berbagai penafsiran yang ada, kemudian kita menjelaskan sikap kita terhadap setiap penafsiran tersebut.

Tunggu bantahan bagian ke-2………….

Catatan:

[1] ) Tafsir Ibnu Katsir 1/148.

[2]) Tasyabuh dengan selain ahlis sunnah dilarang bila tidak memenuhi beberapa persyaratan berikut ini: 1. Tidak ada kemanfaatan yang dapat dipetik darinya, 2. Perbuatan tersebut tidak disyari’atkan dalam Islam. 3. Adanya niat untuk sengaja menyerupai. 4. Perbuatan tersebut merupakan kekhususan/ciri khas mereka.

Adapun hal-hal yang ada kemanfaatannya dan tidak ada larangan khusus darinya, maka tidaklah dapat dikatakan sebagai tasyabbuh, misalnya menggunakan pesawat terbang, stempel ketika bersurat menyurat, alat-alat telekomunikasi yang ada sekarang ini, dan lain sebagainya. Atau hal tersebut merupakan syari’at yang berlaku pada mereka dan pada umat Islam pula, misalnya sholat, puasa, hukum qhishos dll, Atau hal tersebut bukan merupakan kekhususan mereka misalnya: celana panjang yang tidak membentuk lekak-lekuk aurat dan tidak transparan bagi kaum pria, baju kaos, menggunakan sendok ketika makan, dll, maka tidak dapat dikatakan sebagai tasyabuh. Bagi yang ingin mengetahui hukum tasyabuh lebih mendalam, silahkan baca kitab: At Tasyabuh Al Manhi ‘Anhu fil Fiqhil Islami, karya Jamil bin Habib Al Luwaihiq.

[3] ) Syarah Al ‘Aqidah At Thahawiyyah , oleh Ibnu Abil ‘Izzi 63. Silahkan baca juga Majmu’ Fatawa 6/36-37.

[4] ) Ini adalah beberapa kata dan istilah hasil rekasaya ahlul kalam dalam mensifati Allah Ta’ala.

Sumber : http://arifinbadri.com/bantahan-untuk-luqman-baabduh-dan-koreksi-buku-mereka-adalah-teroris-bag-1/

———————————————————————————————————–

Kritikan kedua: Menghujat Diri Sendiri

Setelah membaca karya saudara Luqman ba’abduh ini, kami hanya memiliki satu kesimpulan, yaitu: saudara Ba’abdu sebenarnya melalui karyanya ini sedang menghujat diri sendiri. Mengapa demikian?

Kami berkesimpulan demikian ini karena kami membandingkan sepak terjang dan ulah, serta berbagai ucapan saudara Luqman beberapa waktu lalu dengan apa yang tertera dalam karyanya ini.

Setiap orang yang membandingkan antara perilaku saudara Luqman beberapa waktu lalu dengan apa yang ia torehkan pada karyanya ini –insya Allah- akan berkesimpulan seperti kesimpulan kami ini. Agar kesimpulan ini menjadi jelas bagi setiap pembaca, maka berikut akan kami nukilkan pengakuan seseorang yang pernah senasib dan seperjuangan dengan saudara Luqman semasa menjalani “jihad Ambon” dibawah komando panglima Ja’far Umar Tholib dengan FKAWJ-nya.

Orang yang pernah senasib dan seperjuangan dengan saudara Luqman ini dengan jujur dan penuh rasa tanggung jawab mengatakan: “Tanpa terasa kami terjerumus ke dalam berbagai penyimpangan yang bermuara pada satu titik yaitu politik massa atau penggunaan potensi massa dalam perjuangan. Sungguh kesesatan seperti inilah yang terjadi pada Ahlul Bid’ah dan Hizbiyyun dari kalangan Ikhwanul Muslimin, Qutthbiyyin (pengikut Sayid Quthub) dan Sururiyyin (pengikut Muhammad Surur) dan lain-lain. Dengan penyimpangan yang kami jalani saat itu, muncullah tindakan-tindakan persis seperti yang dilakukan Ikhwanul Muslimin, diantaranya:

Sistem komando yang meluas menjadi organisasi yang digerakkan dengan sistem imarah dan bai’at.
Lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas dalam organisasi.
Demonstrasi, unjuk rasa dan yang sejenisnya menjadi hal yang biasa.
Mencari dukungan politik dari berbagai kelompok dengan tidak memperhatikan apakah meeka ahlus sunnah, oang awam, atau ahlul bid’ah.
Dari sinilah timbul ide untuk mengadakan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) dengan mengundang tokoh-tokoh politik dan ahlul bid’ah.
Mulai menggampangkan dusta dengan dalih bahwa perang adalah tipu daya.
Bermudah-mudah dalam maksiat, sepeti photografi, dan ikhtilath karena mengimbangi oang awam.
Mengingkari kemungkaran dengan menggunakan gerakan massa dan kekerasan, yang akhirnya jatuh ke dalam kessalahan berikutnya, yaitu:
Menghalalkan darah kaum muslimin.
Melawan aparat atau pemerintah yang sah.
Dan seterusnya. (Meredam Amarah Terhadap Pemerintah hal: xi-xii, oleh Muhammad Umar As Sewed)”

Bila pembaca membaca pengakuan ini kemudian membaca karya saudara Ba’abduh yang nota bene adalah anggota FKAWJ, niscaya kesimpulan di atas akan menjadi hal pertama yang terbetik dalam benaknya.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Ustadz Muhammad Umar As Sewed yang telah dengan tegas dan jujur mengakui kesalahannya dan menyatakan ruju’ kepada kebenaran. Ini adalah satu pertanda bahwa beliau adalah seorang yang benar-benar berjiwa salafi dan tidak dibelenggu oleh rasa egois walaupun dalam kesalahan. Semoag Allah memberkati pengakuan beliau ini, dan senantiasa melimpahkan hidayah& taufiq-Nya kepada Ustadz Muhammad As Sewed, serta orang-orang yang berjiwa besar sehingga dengan lapang dada mau menerima kebenaran dan mengakui kesalahan.

Saudara Ba’abduh yang semoga dirahmati Allah, mengapa anda tidak berterus terang mengakui kesalahan dan menyatakan ruju’ darinya sebagaimana yang dilakukan oleh Ustadz Muhammad As Sewed?! Mungkinkah anda mengingkari dan mendustakan pengakuan Ustadz Muhammad As Sewed?!

Dan pada kesempatan ini kami juga menyeru seluruh saudara kami untuk berintrospeksi diri, sebab bila kita sedikit menoleh kebelakang beberapa tahun silam, niscaya kita akan dapat menyadari jati diri kita sendiri.

Beberapa tahun silam, kami dan juga banyak dari saudara-saudara kami yang telah mengenal manhaj salaf dan berusaha untuk dapat menjiwai dan menerapkannya dalam kehidupan nyata, harus mengakui kenyataan pahit dan kelam.

Beberapa tahun silam kita telah didoktrin dan dibisikkan ke telinga kita bahwa kita meniti manhaj salaf dan berakidah salaf. Walau demikian bisikan dan doktrin yang diajarkan, akan tetapi kitab-kitab yang diajarkan kepada kita kala itu, tidaklah beda dengan kitab-kitab yang diajarkan kepada berbagai harokah atau gerakan-gerakan dakwah lainnya. Sehingga kala itu kita diajari dengan kitab-kitab berikut:

Tafsir Fi Dhilalil Qur’an karya Sayyid Quthub.
Al ‘Adalah Al Ijtima’iyyah, karya Sayyid Quthub.
Ma’alim Al Inthilaqathul Kubra’ karya Abdul Hadi Al Mishry.
Al Ghuraba’ Al Awwalun, karya Salman bin Fahed Al Audah.
Sifatul Ghuraba’, karya Salman bin Fahed Al Audah.
Fiqhul Waqi’ karya Nashir Umar.
Al Imamatul ‘Uzhma’ karya Abdullah Ad Dumaijy.
dll

Dan setelah sekian lama dan setelah berbagai ajaran dan pemahaman yang termuat dalam kitab-kitab tersebut dan juga lainnya tertanam dengan baik dalam akal pikiran kita, barulah kita mengetahui bahwa pada kitab-kitab tersebut terdapat berbagai kesalahan fatal nan berbahaya menurut aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan akhirnya kita rame-rame meninggalkan kitab-kitab tersebut.

Akan tetapi yang menjadi pertanyaan:, akankah semudah yang dibayangkan, berbagai pemikian dan doktrin yang telah terlanjur tertanam dalam jiwa kita akibat langsung dari mempelajari kitab-kita tersebut dapat kita ketahui letak kesalahannya lalu dengan mudah kita menggantikannya dengan pemahaman yang benar?

Sebagai percontohan bahwa suatu pemahaman yang telah tertanam kokoh dalam hati tidak mudah dihapuskan dan biasanya masih menyisakan bekas hingga beberapa waktu, ialah kisah berikut:

عن عائشة رضي الله عنها قالت: سألت رسول الله صلى الله عليه و سلم عن الجدر أمن البيت هو؟ قال: نعم. قلت: فلم لم يدخلوه في البيت؟ قال: إن قومك قصرت بهم النفقة. قلت: فما شأن بابه مرتفعا؟ قال: فعل ذلك قومك ليدخلوا من شاؤوا ويمنعوا من شاؤوا، ولولا أن قومك حديث عهدهم في الجاهلية فأخاف أن تنكر قلوبهم، لنظرت أن أدخل الجدر في البيت وأن ألزق بابه بالأرض. متفق عليه

“dari sahabat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia menuturkan: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi sallam tentang dinding (hijir Ismail, apakah itu termasuk dari Ka’bah? Beliau menjawab: Ya. Aku-pun (‘Aisyah) bertanya: Mengapa mereka (orang-orang Quraisy) tidak memasukkannya kedalam (bangunan) Ka’bah? Beliau menjawab: Sesungguhnya kaummu kekurangan biaya. Aku-piun bertanya: Lantas mengapa pintunya tinggi? Beliau menjawab: Kaummu melakukan itu agar mereka dapat memasukkan orang yang mereka kehendaki dan menghalangi orang yang mereka kehendaki. Dan kalulah bukan karena kaummu baru saja meninggalkan (kehidupan) jahiliyyah, sehingga aku khawatir hati-hati mereka akan merasa aneh (menganggap sebagai kemungkaran/kesalahan-pen) niscaya aku akan masukkan dinding itu (hijir Ismail-pen) ke Ka’bah, dan aku akan tempelkan pintunya dengan bumi.” Muttafaqun ‘alaih

Rasulullah shallallahu ‘alaihi sallam menyabdakan hadits ini pada tahun ke 10 H sedangkan kota Makkah telah berhasil ditundukkan pada tahun ke 8 H, dan penduduk Makkah telah masuk Islam pada tahun ke 8 H pula. Sehingga pada saat terjadi percakapan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi sallam dengan ‘Aisyah ini telah berjarak + 2 tahun. Walau demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi sallammasih mengkhawatirkan tentang tersisanya berbagai hal-hal dan keyakinan jahiliyyah pada diri penduduk Makkah, oleh karena itu beliau mengurungkan keinginannya untuk memugar Ka’bah.

Bila mereka para sahabat yang telah masuk Islam selama + 2 tahun dikhawatirkan masih memiliki sisa-sisa akidah atau pemikiran jahiliyyah, padahal mereka hidup semasa dnegan Rasululah shallallahu ‘alaihi sallam, keimanan mereka, keilmuan, pemahaman bahasa arab dll jauh lebih besar dan bagus dibanding kita sekarang ini, apakah tidak lebih layak bagi kita untuk senantiasa mengkhawatirkan hal tersebut terjadi pada diri kita?!

Oleh karena itu hendaknya kita tidaklah terlalu merasa besar kepala sehingga mengganggap diri kita telah menjadi seorang salafy tulen tidak layak di kritik, atau disalahkan atau bahkan merasa menjadi panutan dakwah salaf di negri kita.

Fakta dan fenomena yang terjadi pada perjalanan dakwah salaf di negri kita membuktikan bahwa kita tidak mudah meninggalkan dan menghapuskan masa lampau kelam tersebut, sehingga berbagai kejadian janggal dan menyeleweng sering menodai perjalanan dakwah salaf.

Berikut beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa hingga kini masih banyak warisan dari masa kelam itu yang masih melekat pada diri kita:

Indikasi pertama : Sikap fanatis dan kultus kepada seorang figur atau ustadz, sehingga bila ustadz kita menguatkan suatu pendapat, maka banyak dari kita yang merasa berang atau tidak suka bila ada ustadz lain atau orang lain yang mengamalkan pendapat ulama’ yang menyelisihi pendapat ustadz kita. Dan tidak jarang kita menjadi seperti orang yang kebakaran kumis bila diajak berdiskusi atau beradu argumen dengan orang yang menyelisihi pendapat kita.

Sikap-sikap semacam ini sudah barang tentu menyelisih prinsip Dakwah Salaf yang senantiasa mendahulukan kebenaran di atas segala hal. Sebagaimana sikap semacam ini akan memadamkan ilmu dan sikap-sikap ilmiyyah yang tercermin pada kesiapan kita untuk menerima kebenaran dari siapa saja datangnya dan meninggalkan kesalahan dari siapa saja datangnya.

Indikasi kedua : Sikap ceroboh dalam menjatuhkan suatu vonis atau klaim terhadap seseorang, misalnya dengan mengatakan fulan mubtadi’ atau ahlul ahwa, atau yang serupa, tanpa melalui tahapan yang telah dijelaskan oleh para ulama’. Sehingga tidak jarang kita mendengar tuduhan: fulan sururi hanya karena berhubungan dengan suatu yayasan tertentu, atau berbaik muka dengan orang-orang tertentu misalnya, atau yang serupa, tanpa menempuh tahapan-tahapan yang semestinya ditempuh.

Indikasi ketiga : Masih berlakunya sebutan “nama hijrah”, yaitu bila ada seseorang yang oleh orang tuanya diberi nama yang tidak islamy, misalnya diberi nama paijo, kemudia ia mengganti nama tersebut dengan nama “Ahmad”, maka nama ahmad ini disebut oleh banyak orang dengan “nama hijrah”. Kita tidak pernah bertanya: hijrah dari mana? Bolehkah menyebut nama tersebut dengan sebutan semacam ini? Padahal pergerakan-pergerakan yang biasa menggunakan sebutan tersebut memaksudkan hijrah di situ ialah hijrah dari masyarakat jahiliyah. Mereka beranggapan bahwa masyarakatnya ialah masyarakat jahiliyah alias kafir, karena tidak berhukum dengan hukum Allah.

Indikasi keempat : Kesan bahwa seorang yang telah bermanhaj salaf atau beraqidah tidak mungkin berbuat salah atau dosa, sehingga bila kita melihat seorang yang telah lama belajar aqidah salaf dan rajin menghadiri pengajian-pangajian yang dipandu oleh ustadz-ustadz salaf terjatuh dalam perbuatan dosa, muncullah ucapan-ucapan yang aneh, misalnya: masak seorang ikhwan salafi berbuat demikian? Masak seorang ustadz salafi berbuat demikian?! Masak seorang salafi atau ustadz salafi kok tidap tepat membayar hutang atau memenuhi janjinya …..?! Seakan-akan ada kesan bahwa seorang ustadz atau seorang salafi adalah seorang yang sempurna dan tak mungkin salah atau berdosa? Subhanallah, seakan-akan setiap orang yang telah belajar manhaj salaf atau beraqidah salaf adalah insan yang sempurna dan suci dari dosa, bak malaikat atau nabi.

Dan bila ada seorang yang melakukan kesalahan atau dosa, dengan serta merta timbul kesan bahwa orang tersebut telah keluar dari manhaj salaf atau bukan salafi lagi atau anggapan yang serupa.

Sampai-sampai timbul kesan bahwa yang layak untuk dijuluki dengan sebutan ikhwan atau akhwat hanyalah orang yang telah ngaji dengan seorang ustadz salafi, sedangkan seorang muslim atau muslimah yang belum mengaji dengan seorang ustadz salafi, akan tetapi ia orang awam atau mengaji kepada guru-guru ngaji lainnya tidak disebut dengan ikhwan atau akhwat. Sehingga banyak dari kita yang akan tertawa kesal atau geli bila ada orang yang mengatakan kepada kita : awas hati-hati, di depan rumah ada seorang akhwat! Dan setelah dicek ternyata yang ada hanyalah seorang ibu-ibu muslimah yang datang dari kampung dengan pakainnya yang khas jawa. Seakan-akan kita semua mengubur dalam-dalam firman Allah Ta’ala :

}إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ{ الحجرات 10

“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” Al Hujurat 10. Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi sallam

(كونوا عباد الله إخوانا المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يخذله ولا يحقره) رواه مسلم

“Jadilah kalian itu hamba-hamba Allah yang saling bersaudara, seorang muslim adalah saudara muslim lainnya, ia tidaklah menzholiminya, tidaklah menyelahkannya kepada musuh, dan tidaklah meremehkannya.” Muslim.

Dan pada kesempatan ini kami juga ingin mengingatkan saudara-saudara kita yang pernah ikut dalam FKAWJ dan juga LJ (Laskar Jihad) dibawah komando Ustadz Ja’far Umar Thalib, bahwa walaupun antum semua telah meninggalkan FKAWJ dan LJ, dan telah banyak yang menyatakan bertaubat, akan tetapi, pelajaran yang diambil dari kisah percakapan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi sallam dengan ‘Aisyah di atas hendaknya senantiasa diilhami dan direnungkan kemudian diterapkan dalam kehidupan nyata. Agar kesalahan masa lampau tersebut tidak kembali muncul atau bahkan tidak menyisakan bekasnya dalam perilaku, ucapan dan pemikiran antum semua.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan taufiq dan ‘inayah-Nya kepada kita semua, sehingga kita dapat membersihkan diri kita dari noda warisan kelam masa lampau dan dapat meningkatkan iman, amal serta ilmu kita.

Sumber : http://arifinbadri.com/bantahan-untuk-luqman-baabduh-dan-buku-mereka-adalah-teroris-bag-2/

Insya Allah akan datang bantahan ke-3 terakhir…

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Desember 11, 2014 inci ZZ..MEREKA DALAM TIMBANGAN..ZZ

 

Tinggalkan komentar