RSS

Duduk Didalam Shalat (Tawaruk atau Iftirasy ?)

05 Mar

Dalam kajian fikih tata-cara ibadah tidak jarang ditemui perbedaan pandangan. Termasuk dalam tata-cara shalat. Hal ini kadang menimbulkan rasa tidak bersahabat, kalau tidak sampai terjadi perselisihan.

Diantara hal itu adalah tentang cara duduk dalam shalat. Mungkin pernah kita lihat ada yang selama shalat ketika duduk dengan cara iftirasy (menegakkan/menghamparkan telapak kai kanan dan menghamparkan telapak kaki kiri, sementara pantat duduk di atas hamparan telapak kaki kiri), ada juga yang tawaruk (menegakkan/menghamparkan te lapak kaki kanan dan menyilangkan kaki kiri hingga telapaknya berada di bawah atau di atas betis kaki kanan) dan iftirasy. Yang kedua juga berbeda lagi ketika duduk itu pada shalat dua rekaat dan yang lebih dari itu.

Bagaimana sebenarnya duduk permasalahannya sehingga muncul perbedaan tersebut? Mengapa para ulama sendiri juga berbeda pandangan dalam masalah ini?

Empat Imam pun berbeda

Kalau disebut empat imam bukan bermaksud membatasi imam (ulama terkenal) hanya sebatas empat tersebut. Sebenarnya ulama yang disebut dengan Imam sangat banyak, disebut empat saja karena itulah yang sangat terkenal di kalangan kaum muslimin, terutama di Indonesia. Keempat ini bias dikatakan mewakili empat pandangan yang berbeda pula.

Pertama: pendapat Imam Hanafi dan yang sepaham. Mereka berpandangan bahwa duduk dalam sholat adalah mutlak iftirasy, baik duduk di antara dua sujud, tasyahud awal, maupun tasyahud akhir.

Kedua: pendapat Imam Malik, dan yang sepaham. Mereka berpandangan bahwa duduk dalam shalat adalah tawaruk, baik pada tasyahud awal, atau akhir, maupun di antara dua sujud.

Ketiga: pendapat Imam Ahmad dan yang sepaham. Mereka berpandangan bahwa shalat yang memiliki satu tasyahud dengan yang memiliki dua tasyahud dengan yang memiliki dua tasyahud cara duduknya berbeda. Shalat yang memiliki satu tasyahud, duduk akhirnya sama dengan cara duduk di antara dua sujud, yakni iftirasy. Sementara bila shalatnya memiliki dua tasyahud, maka tasyahud awal dengan cara iftirasy, sedangkan yang kedua dengan cara tawaruk. Ini merupakan pendapat yang masyur dari Imam Ahmad. (Fathul Bari, Ibnu Rajab al-Hambali V/164).

Keempat: pendapat Imam Syafi’i dan yang sepaham. Mereka berpandangan bahwa duduk yang bukan duduk akhir adalah iftirasy, sedangkan duduk yang dilakukan pada tasyahud akhir dengan tawaruk. Tidak dibedakan antara shalat yang memiliki dua tasyahud ataupun satu tasyahud.

Apa Alasan Mereka? Apa sebenarnya yang menjadi alasan masing-masing pihak sehingga muncul berbeda pendangan ?

Alasan Hanafi : Mereka membangun pendapatnya di atas petunjuk beberapa hadits, diantaranya yaitu:

Perkataan Aisyah, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”Beliau Rasulullah mengucapkan tahiyyat pada setiap dua rekaat/rekaat kedua, saat itu beliau hamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.” (Shahih Muslim no. 498).

Perkataan Wail bin Hujr ”Aku menyaksikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalat; beliau hamparkan telapak kaki kirinya dan menegakkan telapak kaki kanannya.” (Ibnu Khuzaimah no.691, Al-Baihaqi no.72, Ahmad no.316), Al-Thabrani no.33). Dalam riwayat Tirmidzi dengan lafal: ”Tatkala duduk tasyahud beliau hamparkan kaki kirinya dan tangan kirinya diletakan pada pahanya sementara itu kaki kanannya ditegakkannya.” (Sunan Tirmidzi no.292).

Hadit-hadits tersebut, dan hadits lain yan g senada, menunjukkan disebutkannya duduk iftirasy baik waktu tasyahud maupun bukan.

Alasan Maliki : Pandangan ini dibangun di atas hadits-hadits berikut:

Perkataan Abdullah Ibnu Umar : ”Bahwasanya sunnah shalat (ketika duduk) adalah engkau tegakkan telapak kaki kananmu dan melipat yang kiri!” (Shahih al-Bukhari no.793, bersama Fatul Bari).

Perkataan Abdullah Ibnu Mas’ud : ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan tasyahud kepadaku dipertengahan shalat dan di akhirnya.” Katanya lagi, ”Beliau mengucapkan (tasyahud tersebut) jika duduk di pertengahan shalat dan di akhirnya di atas warik (bagian atas paha/pantat)-nya yang kiri…” (Musnad Ahmad 4369)

Hadits-haduts tersebut menyebutkan adanya duduk tawaruk dalam shalat, baik di tengah maupun akhirnya.

Mereka juga mendasarkan pada kiyas, bahwa perbuatan tersebut adalah diulang-ulang dalam shalat, maka sesuatu yang diulang-ulang dalam shalat mestinya mempunyai satu sifat/bentuk. Seperti halnya berdiri dan sujud. (Syarh Muwatha, oleh Qadhi Abul Walid Sulaiman al-Naji)

Alasan Syafi’i dan Hambali : Syafi’i berpandangan bahwa asal duduk dalam shalat adalah tawaruk. Dikecualikan sebagaimana perkataan Muzani bahwa Syafi’i berkata, ”Duduk pada rekaat kedua di atas kanannya.” (Al-Hawi al-Kabir hal.171).

Ibnu Rusyd mengambarkan pandangan syafi’i, ”Pada tasyahud awal mereka mengikuti madzab Hambali sementara pada tsyahud akhir mengikuti madzab Maliki.” (Bidayatul Mujtahid hal.261).

Sedang Hambali. ”Tidak boleh duduk tawaruk kecuali dalam shalat yang mempunyai dua tasyahud, duduk tawaruk dilakukan pada tasyahud yang akhir.” (Zadul Mustaqni’ Ahmad bin Hambal).

Sebenarnya pandangan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad mempunyai kesamaan, di samping perbedaan. Persamaannya bahwa dalam shalat itu ada duduk tawaruk maupun iftirasy. Jadi hadits-hadits yang dijadikan alasan tertentu di muka, baik yang disodorkan Hanafi dan Maliki, penggunaannya digunakan oleh keduanya. Perbedaannya ketika menyikapi duduk akhir antara shalat yang memiliki satu tashahud dengan shalat yang memiliki dua tasyahud.

Jadi keduanya membangun pandangannya pada alasan sahih yang juga digunakan oleh dua imam sebelumnya. Hanya saja ada tambahan hadits sahih lainnya.

Hadits dari Muhammad bin Amr bin Ath’. Ia pernah duduk bersama sepuluh orang sahabat. Kami mempinjangkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tiba-tiba Abu Humaid al-Sa’idi berkata, ”Dibanding kalian aku lebih hafal tentang shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Aku pernah melihat beliau apabila bertakbir dijadikannya kedua tangannya berhadapan dengan kedua pundaknya. Apabila rukuk, beliau letakkan kedua tangannya di kedua lututnya, kemudian beliau meluruskan punggungnya. Bila mengangkat kepalanya (dari ruku), beliau berdiri lurus (i’tidal) sehingga kembali setiap tulang belakang ke tempatnya. Kemudian apabila sujud, beliau letakkan kedua tangannya tanpa menghamparkan maupun menggenggam, sementara ujung-ujung jarinya kedua kakinya dihadapkan ke kiblat. Apabila duduk pada dua rekaat (rekaat kedua), beliau duduk di atas (hamparan) kaki kirinya dengan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy). Sementara apabila duduk pada rekaat akhir, beliau majukan kaki kirinya dengan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk di tempatnya (di lantai alias duduk tawaruk).” (Shahih al-Bukhari no.828).

Hadits tersebut ada yang menggunakan lafal lain :

Dalam riwayat Abdul Fadhi Abdul Hamid bin Ja’far al-Anshari al-Ausi disebutkan, ”Hingga pada saat sajdah yang diikuti dengan salam”.

Sementara pada riwayat Ibnu Hibban, ”(Pada rekaat) yang menjadi penutup shalat beliau mengeluarkan kaki kiri dan duduk dengan tawaruk pada sisi kirinya.” (Fathul Bari II/360).

Sementara itu dalam Shahih Ibni Khuzaimah (I/587). Sunan al-Tirmidzi no.304, dan Musnad Ahmad no.23088 hadits tersebut dicatat dengan redaksi : “Hingga rekaat yang padanya selesailah shalat.”

Lain lagi dalam Sunan al-Nasai no.1262, “Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika pada dua rekaat yang padanya berakhirlah shalat.”

Catatan Dan Kesimpulan

Tidak benar jika dikatakan bahwa ada madzab yang tidak berpegang pada hadits. Masalahnya adalah dari kajian hadits masing-masing pihak tersebut mana yang menghasilkan pendapat paling kuat? Ibnu Hazm memberikan penilaian terhadap dua pandangan pertama dimuka, ”…kedua pendapat tersebut salah dan menyelisihi sunnah yang ada sebagaimana kami sebutkan— maksudnya hadits Abu Humaid.” (Al-Muhalla IV/127).

Artinya, kelemahan dua pendapat pertama tersebut adalah karena masing-masing hanya mengambil satu jenis hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maliki mengambil hadits tawaruk, sementara Hanafi mengambil hadits iftirasy, padahal kedua jenis hadits tersebut sama-sama sahihnya.

Kiranya menurut penulis, yang paling kuat adalah pendangan yang dipilih oleh Imam Syafi’i. Kesimpulan serupa juga pernah diajukan oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat setelah melakukan penelitian yang cukup dalam dan lama. Sebelumnya hal ini sudah ditegaskan oleh Abul Ula Mubarakfuri, ”…Pendapat yang menjadi pandangan Imam Syafi’i dan yang sepaham mempunyai nash yang jelas dan tegas. Inilah madzhab yang kuat.” (Tuhfatul Ahwadzi II/155).

Tentu saja jawaban dari pihak yang condong kepada pandangan Hambali. Bahwa menurut mereka, hadits Abu Humaid di atas khusus untuk shalat yang mempunyai dua tasyahud seperti shalat yang empat atau yang tiga rekaat, karena susunan haditsnya memang menunjukkan seperti itu. Susunan ini secara tekstual mengkhusukan bahwa duduk tawaruk hanya ada pada tasyahud yang kedua.

Jawabannya : Sebenarnya yang dipersoalkan adalah shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan masalah empat rekaatnya. Kita coba urutkan hadits Abu Humaid di muka :

Pertama : Berkata Muhammad bin Amr bin Atha’, ”Kami memperbincangkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Ini menunjukkan bahwa para sahabat sebanyak sepuluh orang bersama Muhammad bin Amr bin Atha’ tengah membahas sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua : Berkata Abu Humaid al-Sa’di mengatakan secara umum kepada sahabat-sahabat lainnya bahwa dia paling tahu tentang sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian menjelaskan tanpa ,mengkhusukan shalat yang 2, 3, atau 4 rekaat.

Ketiga : Di antara al-Sa’idi ialah: mengangkat kedua tangan, rukuk, i’tidal, dan sujud. Apakah semua sifat shalat tersebut khusus untuk shalat yang empat rekaat?

Kemudian hadits Abdullah bin Mas’ud yang dicatat oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihahnya no.670 memperkuat hadits Abu Humaid tersebut.

Dipertegas dan diperkuat dengan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, ”Jika engkau duduk di pertengahan shalat bersikaplah tentang (thuma’ninah) dan hamparkan paha kirimu (duduk iftirasy), lalu lakukanlah tasyahud.” (Sunan Abu Dawud no.802, menurut Al-Albani sanadnya hasan, dalam Ashlu Shafatis Shalah, Al-Albani: III/831-832).

Abu Humaid membedakan antara duduk di akhir shalat dengan duduk yang bukan di akhiri shalat. Tatkala beliau menjelaskan tentang duduk yang bukan akhir shalat, beliau menyebutnya dengan lafal ”Jika duduk pada rekaat kedua beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy)”. Lafal ini menunjukan bahwa duduk iftirasy dilakukan dipertengahan shalat, bukan akhir shalat. Yang dimaksud ”arrak’atain” bukan ”dua rekaat”, tetapi ”rekaat yang bukan akhir shalat” alias rekaat kedua. Jadi hadits ini menjelaskan bahwa duduk iftirasy dilakukan dipertengahan shalat. Sedangkan lafal hadits Abu Humaid ”dan jika beliau duduk pada rekaat terakhir”, dengan berbagai lafalnya merupakan nash yang bersifat manthuq sharih (penunjukan lafal yang sesuai pada ucapannya); hal ini lebih didahulukan daripada mafhum. Hadits Aisyah, Ibnu Hujr, Ibnu Zubair tentang duduk iftirasy adalah umum sebagaimana hadits Ibnu Umar tentang tawaruk; tidak disebutkan apakah pada pertengahan shalat ataukah diakhirnya. Karena itu hadits yang umum (mutlak) tersebut dibawa kepada yang muqattad (mengikat khusus), pada hadits Abu Humaid dimuka. Perlu diingat pula bahwa shalat yang dimaksud satu tidak hanya yang dua rekaat, dalam shalat witir ada satu, tiga rekaat. Ada juga empat rekaat dan lima rekaat dengan satu tasyahud. Apakah kiranya ada hadits yang menjelaskan tentang duduk selain dua re kaat? Pemahaman Imam Syafi’i di muka memecahkan masalah ini. Tetapi ada yang menarik dari ungkapan Imam Nawawi, dari madzhab Syafi’i, ”Seandainya seorang ketika pada posisi duduk, kapanpun, dengan iftirasy, tawaruk, bersila, iq’a, atau bahkan selonjor tetaplah sah shalatnya meskipun itu menyelisihi.” (Syarh Shahih Muslim, hal.438).

Akhirnya perbedaan semacam ini hendaknya disikapi secara arif. Tidak perlu menimbulkan sikap curiga dan saling mencela. Wallahu a’lam.

Dipulikasikan oleh : ibnuramadan.wordpress.com

Disalin dari : Fatawa Vol.IV/No.11/Dzulqa’dah 1429

============================================================================================================

TATACARA DUDUK TASYAHHUD AKHIR DALAM SETIAP SHALAT
MENGENAL BEBERAPA ISTILAH DUDUK DI DALAM SHALAT

Sebelum kita memasuki inti pembahasan, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu beberapa istilah tatacara duduk yang nanti akan kami sebutkan disela-sela pembahasan. Berikut ini beberapa istilah yang penting untuk kita ketahui:

1) Duduk tawarruk, adalah duduk yang dilakukan dengan cara bagian belakang (pantat) duduk diatas lantai, dan kaki kiri dimajukan ke depan, dan ujung kaki kiri dikeluarkan kesebelah kanan, kemudian kaki kanan ditegakkan, dengan cara jari-jari kaki kanan diarahkan ke kiblat.

2) Duduk iftirasy, yaitu duduk yang dilakukan dengan cara bagian belakang (pantat) menduduki kaki kiri dan berada di atasnya, dan kaki kanan tetap ditegakkan dengan jari-jari kaki kanan diarahkan ke kiblat.

3) Duduk tarabbu’, yaitu duduk dengan cara bagian belakang pantat diatas lantai, kedua paha dimajukan kedepan, sementara betis kanan diselipkan ke sebelah kiri dan demikian pula sebaliknya, atau lebih dikenal dengan istilah “duduk bersila”.Diriwayatkan dari Aisyah -radhallahu anha- bahwa Beliau berkata:

رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي متربعا

“Aku melihat Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, shalat dalam keadaan duduk bersila.”[1]

Faedah: Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin rahimahullah menyebutkan ada tiga macam cara duduk tawarruk:
Pertama: seperti yang telah kami sebutkan diatas
Kedua: menghamparkan kedua kaki, baik yang kiri maupun yang kanan (tidak ditegakkan).
Ketiga: menghamparkan kaki kanan (tidak ditegakkan), lalu kaki kiri dimasukkan diantara paha dan betis kaki kanan.
Lalu beliau berkata: semua keadaan ini telah datang dari Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam, tentang cara duduk tawarruk.[2]
Hal ini juga disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya zaadul ma’aad.[3]

Sumber : Risalah Ilmiah “ Tatacara Duduk Tasyahhud Akhir Dalam Setiap Shalat” Hal : 13-16
________________________________________
[1] HR.An-Nasaai (1661), Ad-Daruquthni (1/397), Ibnu Khuzaimah (2/89), Ibnu Hibban (2512),Al-Hakim dalam Al-mustadrak (1/410), Al-Baihaqi (2/305).Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih An-Nasaai.
[2] (lihat Asy-Syarhul mumti’, Al-Utsaimin:3/300)

[3] Zaadul ma’aad, Ibnul Qayyim (1/253).

—————————————-

PENDAPAT PARA ‘ULAMA DALAM MASALAH CARA DUDUK TASYAHHUD

Sebelum kita menyebutkan pendapat yang terkuat dalam masalah duduk pada tasyahhud akhir disetiap shalat, hendaknya kita mengetahui perselisihan yang terjadi dikalangan para ulama dalam masalah ini. Para Ulama telah berselisih pendapat dalam masalah cara duduk tasyahhud secara umum, baik tasyahhud yang pertama maupun tasyahhud yang terakhir menjadi beberapa pendapat:

Pendapat Pertama: pendapat Imam Malik. Beliau mengatakan: Dianjurkan untuk duduk tawarruk dalam setiap keadaan duduk dalam shalat, apakah pada tasyahhud pertama, atau terakhir, dan pada duduk diantara dua sujud. Dan tidak ada perbedaan antara duduk tersebut, sebagaimana tidak ada perbedaan pula antara duduk laki-laki dan duduk wanita.

Pendapat Kedua: pendapat Abu Hanifah dan para pengikutnya, dan juga pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Hasan bin Shaleh, Abdullah bin Mubarak, mereka mengatakan: dianjurkan duduk iftirasy pada semua keadaan duduk, baik duduk diantara dua sujud, tasyahhud yang pertama dan terakhir. Ini berkenaan tentang duduk laki-laki. Adapun duduk wanita, maka dia duduk dengan cara yang paling mudah baginya. Dan hal ini juga telah diriwayatkan dari Asy-Sya’bi.

Pendapat Ketiga: pendapat Imam Ahmad dan para pengikutnya, dan juga pendapat Dawud dan Ishaq bin Rahuyah, mereka mengatakan: Berbeda antara shalat yang memiliki satu tasyahhud dengan shalat yang memiliki dua tasyahhud. Adapun shalat yang memiliki satu tasyahhud maka duduk akhirnya sama dengan cara duduk diantara dua sujud, yaitu dengan iftirasy, adapun bila shalatnya memiliki dua tasyahhud, maka pada tasyahhud pertama dengan cara iftirasy, sedangkan yang kedua dengan cara tawarruk. Ini merupakan pendapat yang paling masyhur dari Imam Ahmad. Dan dalam riwayat Al-Atsram bahwa Imam Ahmad menyebutkan secara nash tentang bolehnya duduk tawarruk pada tasyahhud yang dia mengucapkan salam padanya dari shalat dua raka’at, namun beliau mengatakan: Bahwa duduk iftirasy lebih afdhal.[1]

Pendapat keempat: pendapat Imam Asy-Syafi’i dan para pengikutnya. Mereka mengatakan: Duduk yang bukan duduk akhir, dengan cara iftirasy, sedangkan duduk yang dilakukan pada tasyahhud akhir, dengan cara tawarruk. Dan tidak ada perbedaan antara shalat yang memiliki dua tasyahhud ataupun satu tasyahhud. Dan pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Hazm.

Pendapat Kelima: Adalah pendapat At-Thabari, yang mengatakan bolehnya memilih cara duduk yang mana saja yang dia inginkan yang ada dalilnya dari Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam, Dan Ibnu Abdil Barr lebih condong kepada pendapat ini, sebagaimana yang beliau sebutkan dalam kitabnya. “At-Tamhid”.[2]

Sumber : Risalah Ilmiah “ Tatacara Duduk Tasyahhud Akhir Dalam Setiap Shalat” Hal : 17-21
________________________________________
[1] (Lihat : Fathul Bari, Ibnu rajab Al-Hanbali: 5/164 ).
[2] Lihat perselisihan para ulama ini dalam kitab : Al-majmu’ syarhul muhadzdzab, An-Nawawi (3/298-299), At-Tamhid, Ibnu Abdil Barr (3/223-224), Al-Mughni, Ibnu Qudamah (1/577-578), Fathul Bari, Ibnu Hajar (2/360), fathul bari, Ibnu Rajab al-hambali (5/161-164), tuhfatul ahwadzi, Al-Mubarakfuri (2/45-46), Aunul Ma’bud, Abu ath-Thayyib Aabaadi (2/326-327).

—————————————————————–

ALASAN PENDAPAT PERTAMA DAN KEDUA

Alasan pendapat pertama :
Al-Malikiyyah membangun pendapatnya tersebut berdasarkan hadits yang shahih dari Abdullah bin ‘Umar radiallohu ‘anhu, dimana beliau berkata:

إِنَّمَا سُنَّةُ الصَّلاَةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِيَ الْيُسْرَى.

“Sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan menghamparkan (kaki) kirimu”[1]

Dalam riwayat Imam Malik dalam “Al-Muwaththa”, dalam Bab: Al-‘Amal Fil Juluus Fis Shalaah (188), dari Yahya bin Sa’id bahwa Al-Qasim bin Muhammad memperlihatkan kepada mereka cara duduk ketika tasyahhud, lalu beliau menegakkan kaki kanannya dan menghamparkan kaki kirinya, dan duduk di atas warik[2] kirinya dan tidak duduk di atas kakinya. Lalu dia berkata: Abdullah bin Abdullah bin ‘Umar telah memperlihatkan kepadaku demikian, dan mengabariku bahwa ayahnya (Abdullah bin ‘Umar) melakukan yang demikian itu.

Yang menjadi syahid dari hadits ini dimana Abdullah bin ‘Umar mengajarkan bahwa duduk yang disyariatkan adalah duduk tawarruk, dan tidak disebutkan apakah duduk tersebut di awal ataukah di akhir yang menunjukkan keumuman lafadz hadits tersebut. Perkataan beliau “sunnahnya shalat” menunjukkan bahwa beliau menyandarkan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang telah diketahui dalam ilmu musthalahul hadits.

Diantara dalil yang mereka sebutkan pula adalah hadits Abdullah bin Mas’ud radiallohu ‘anhu, bahwa beliau berkata:

عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التَّشَهُّدَ فِي وَسَطِ
الصَّلاَةِ وَفِي آخِرِهَا قَالَ فَكَانَ يَقُولُ إِذَا جَلَسَ فِي وَسَطِ الصَّلاَةِ وَفِي آخِرِهَا عَلَى وَرِكِهِ الْيُسْرَى….. الحديث.

” Shallallohu ‘alaihi wasallamRasulullah, mengajarkan tasyahhud kepadaku dipertengahan shalat dan di akhirnya. Lalu berkata: Adalah beliau mengucapkan jika duduk dipertengahan shalat dan di akhir shalat di atas warik (bagian atas paha/bokong)-nya yang kiri … Al-Hadits.[3]

Yang menjadi syahid dari hadits ini adalah penyebutan duduk tawarruk baik dipertengahan shalat maupun diakhir shalat.

Alasan pendapat kedua :
Al-Hanafiyyah yang berpendapat bahwa semua keadaan duduk dilakukan dengan cara iftirasy, berdalil dengan hadits ‘Aisyah bahwa beliau berkata:

وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى.

“Adalah beliau (Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, ) melakukan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy).”[4]

Juga berdasarkan hadits Wail bin Hujr radiallohu ‘anhu bahwa beliau berkata:

« رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى ».

“Aku melihat Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, ketika duduk dalam shalat, beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.”[5]

Dalam riwayat Tirmidzi dengan lafadz:

فَلَمَّا جَلَسَ يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِي عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Maka tatkala beliau duduk untuk tasyahhud, beliau menghamparkan kaki kirinya dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya, dan menegakkan kaki kanannya.”[6]

Demikian pula diriwayatkan dari Amir bin Abdullah bin Zubair, dari ayahnya berkata:
« كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ ، افْتَرَشَ اْليُسْرَى ، وَنَصَبَ اْليُمْنَى »
“Adalah Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, jika duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan. “[7]

Yang menjadi syahid dari beberapa riwayat tersebut di atas adalah penyebutan duduk iftirasy disaat duduk ketika shalat, baik diwaktu tasyahhud maupun bukan, dan baik diraka’at terakhir atau tidak.

Sumber : Risalah Imiah “Tatacara Duduk Tasyahhud Akhir Dalam Setiap Shalat” Hal : 22-28
________________________________________
[1] (HR. Bukhari: /827, bersama Fathul Bari).
[2] Warik adalah bagian atas paha. (Al-Qamus Al-Muhith)
[3] (HR. Ahmad dalam Al-Musnad: 1/459).
[4] (HR. Muslim: Bab : Maa Yajma’u Shifatas Shalaah: 1/498).
[5] (HR. Ibnu Khuzaimah (1/691), Al-Baihaqi (2/72), Ahmad (4/316), At-Thabrani (22/33).
[6] (HR. Tirmidzi: 2/292).
[7] (HR. Ibnu Hibban: 5/1943).

———————————————————-

Alasan pendapat ketiga dan keempat :

Sebelum kita membahas dalil masing-masing dari kedua pendapat, yaitu antara madzhab Imam Ahmad dan Imam Syafi’i, terlebih dahulu kita fahami bahwa kedua pendapat ini memiliki persamaan dalam satu sisi, dan berbeda pandangan dari sisi yang lain:

Adapun persamaan kedua pendapat ini adalah bahwa kedua-duanya menggabungkan seluruh riwayat yang datang menjelaskan tentang kedua jenis duduk tersebut, yaitu duduk iftirasy dan juga duduk tawarruk. Sehingga semua dalil yang dijadikan alasan oleh madzhab Malikiyyah dan juga Al-Hanafiyyah, diamalkan oleh Imam Ahmad dan juga Imam Syafi’i. Mereka juga sepakat dalam hal duduk tasyahhud awal yang tidak ada salam setelahnya.[1]

Sedangkan letak perbedaannya, adalah dalam menyikapi duduk akhir antara shalat yang memiliki satu tasyahhud dengan shalat yang memiliki dua tasyahhud, sebagaimana yang kami terangkan di atas.

Jika kita telah memahami perkara ini, maka jelaslah bahwa untuk menyebutkan alasan dan dalil dari pendapat Imam Ahmad dan Imam Syafi’i, adalah berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih yang telah disebutkan pada kedua madzhab, yaitu madzhab Imam Malik dan Abu Hanifah. Ditambah lagi dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari رحمه الله dalam shahihnya dari Muhammad bin Amr bin Atha’ bahwa beliau pernah duduk bersama beberapa orang dari shahabat Nabi Shallallohu ‘aaihi wasallam, Lalu kamipun menyebutkan tentang shalatnya Rasulullah Shallallohu ‘aaihi wasallam, Lalu berkata Abu Humaid As-Sa’idi :

أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ اْلأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ.

“Aku adalah orang yang paling menghafal diantara kalian tentang shalatnya Rasulullah . Aku melihatnya tatkala bertakbir, menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika ruku’, beliau menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan punggungnya. Dan jika beliau mengangkat kepalanya, maka ia berdiri tegak hingga kembali setiap dari tulang belakangnya ke tempatnya. Dan jika beliau sujud, maka beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menghamparkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada lambungnya), dan menghadapkan jari-jari kakinya kearah kiblat. Dan jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy), dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir, maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain, dan duduk diatas tempat duduknya – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk).[2]

Berkata Al-Hafidz: “dan dalam riwayat Abdul Hamid [3] dengan lafadz:

حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي يَكُوْنُ فِيْهَا التَّسْلِيْمُ.

“Jika (Beliau duduk) pada raka’at yang terdapat padanya salam”,
dan dalam riwayat Ibnu Hibban:

الَّتِي تَكُوْنُ خَاتِمَةُ الصَّلاَةِ أَخْرَجَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شَقِّهِ اْلأَيْسَرِ.

“Pada (Raka’at) yang menjadi penutup shalat, maka beliau mengeluarkan kaki kiri dan duduk dengan tawarruk diatas sisi kirinya.”

Ditambah oleh Ibnu Ishaq dalam riwayatnya: “Lalu beliau mengucapkan salam”, dan dalam riwayatnya dalam riwayat At-Thahawi: “Tatkala mengucapkan salam, maka dia salam kesebelah kanannya “salaamun ‘alaikum warahmatullah, dan kesebelah kirinya pun seperti itu juga”. Kemudian dalam riwayat Abu Ashim dari Abdul Hamid dalam riwayat Abu Dawud dan selainnya: Mereka berkata -yaitu para shahabat yang disebut dalam hadits, engkau telah benar, memang demikian Beliau Shallallohu ‘aaihi wasallam, shalat.”[4]

Berkata penulis – semoga Allah mengampuninya – : Dan juga dalam riwayat Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa (192), dengan lafadz:

حَتَّى إِذَا كَانَتِ اْلقَعْدَةُ الَّتِي فِيْهَا اْلتَسْلِيْمُ أَخْرَجَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَجَلَسَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شَقِّهِ اْلأَيْسَرِ.

“Sehingga pada duduk yang padanya terdapat salam, maka beliau menggeser kaki kirinya dan duduk dengan cara tawarruk diatas sisi kirinya. ”

Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (1/587), dan Tirmidzi (304), Ahmad 5/424), dengan lafadz:

حَتَّى إِذَا كَانَتِ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَنْقَضِي فِيْهَا الصَّلاَةُ.

“Sehingga (duduk) pada raka’at yang diselesaikannya shalat padanya “, dan dalam riwayat An-Nasaai (1262), dengan lafadz:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلاَةُ.

“Adalah Nabi Shallallohu ‘aaihi wasallam, jika pada dua raka’at yang pada keduanya berakhir shalat”.

Sumber : Risalah Imiah “Tatacara Duduk Tasyahhud Akhir Dalam Setiap Shalat” Hal : 29-36
________________________________________
[1] (Fathul Bari, Ibnu Rajab Al-Hanbali: 5/162. cetakan: daru Ibnul jauzi, cetakan kedua, tahun 1422 H).
[2] (HR. Bukhari dalam Kitab Al-Adzan, Bab: Sunnatul Julus Fis Shalaah: 2/828).
[3] Abdul Hamid yang dimaksud adalah Abdul Hamid bin Ja’far Al-Anshari Al-Ausi Abul Fadhl, yang meriwayatkan hadits dari Muhammad bin Amr bin Atha’ dari Abu Humaid As-Sa’idi.
[4] (Fathul bari:2/360).

————————————————————

KELEMAHAN PENDAPAT AL-MALIKIYYAH DAN AL-HANAFIYYAH

Kedua pendapat tersebut adalah pendapat yang lemah, hal ini disebabkan karena mereka memandang kepada hadits-hadits yang datang dari Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, yang Shallallohu ‘alaihimenjelaskan tentang salah satu cara duduk beliau wasallam,, tanpa menoleh kepada hadits-hadits yang lain yang menjelaskan tentang cara duduk yang berbeda. Sehingga kalau kita mengamalkan seperti amalan madzhab Malikiyyah, berarti kita tidak mengamalkan hadits-hadits yang menyebutkan tata cara duduk iftirasy, demikian pula halnya jika kita mengamalkan seperti amalan madzhab Al-Hanafiyyah, berarti kita meninggalkan beramal dengan hadits-hadits yang menjelaskan tentang cara duduk tawarruk.

Berkata Abul Ula Al-Mubarakfuri:

وَاْلحَاصِلُ أَنَّهُ لَيْسَ نَصٌّ صَرِيْحٌ فِيْمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ مَالِكٌ وَمَنْ مَعَهُ وَلاَ فِيْمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَمَنْ مَعَهُ, وَأَمَّا مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَمَنْ مَعَهُ فَفِيْهِ نَصٌّ صَرِيْحٌ فََهُوَ اْلمَذْهَبُ الرَّاجِحُ.

“Kesimpulannya bahwa tidak terdapat nash yang jelas dari apa yang menjadi pegangan Imam Malik dan yang bersamanya, dan tidak pula apa yang menjadi pegangan Abu Hanifah dan yang bersamanya. Adapun yang menjadi pendapat Imam Syafi’i dan yang bersamanya, maka padanya terdapat nash yang jelas , maka inilah madzhab yang kuat.”[1]

Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu Hazm رحمه الله setelah menyebutkan madzhab Imam Malik dan Abu Hanifah:

” وَعَلَى كِلاَ اْلقَوْلَيْنِ خَطَأٌ وَخِلاَفٌ لِلسُّنَّةِ الثَّابِتَةِ الَّتِي أَورَدْنَا – يَعْنِي حَدِيْث أَبِي حُمَيْدٍ – ”

“Dan kedua pendapat tersebut salah, dan menyelisihi sunnah yang tsabit yang telah kami sebutkan (yaitu hadits Abu Humaid)”.[2]

Terkhusus riwayat Abdullah bin Mas’ud yang dijadikan pegangan oleh madzhab Malikiyyah tentang duduk tawarruk pada awal atau akhir shalat, adalah riwayat yang berasal dari jalan Muhammad bin Ishaq bin Yasar, ia berkata: Abdurrahman bin Al-Aswad bin Yazid An-Nakha’i telah memberitakan kepadaku tentang tasyahhud Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, dipertengahan shalat dan diakhirnya, dari ayahnya dari Abdullah bin Mas’ud radiallohu ‘anhu, bahwa beliau berkata:

عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التَّشَهُّدَ فِي وَسَطِ
الصَّلاَةِ وَفِي آخِرِهَا قَالَ فَكَانَ يَقُولُ إِذَا جَلَسَ فِي وَسَطِ الصَّلاَةِ وَفِي آخِرِهَا عَلَى وَرِكِهِ الْيُسْرَى….. الحديث.

“Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, mengajarkan tasyahhud kepadaku dipertengahan shalat dan di akhirnya. Lalu berkata: Adalah beliau mengucapkan jika duduk dipertengahan shalat dan di akhir shalat di atas warik (bagian atas paha/bokong)-nya yang kiri…” Al-Hadits.[3]

Muhammad bin Ishaq tersebut di atas, meskipun dia seorang perawi yang jujur, yang asal hukum riwayatnya dihasankan, namun dalam riwayat ini dia telah menyelisihi para perawi yang lebih terpercaya, yang meriwayatkan hadits Ibnu Mas’ud tersebut tanpa menyebutkan lafadz “duduk dipertengahan shalat dan di akhirnya” seperti yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq.

Berkata Adz-Dzahabi:
“Yang nampak bagiku bahwa Ibnu Ishaq adalah hasan haditsnya. Keadaannya baik, jujur, dan apa yang ia bersendiri pada (riwayatnya), terdapat kemungkaran padanya, karena pada hafalannya ada sesuatu (berupa kelemahan).”
Oleh karena itu, Syaikh Al-Albani juga menghukumi hadits ini sebagai hadits yang mungkar.[4]

Sumber : Risalah Imiah “Tatacara Duduk Tasyahhud Akhir Dalam Setiap Shalat” Hal : 37-42
________________________________________
[1] (Tuhfatul Ahwadzi: 2/155).
[2] (Al-Muhalla, Ibnu Hazm: 4/127).
[3] (HR. Ahmad dalam Al-Musnad: 1/459).
[4] (Lihat kitab: Ashlu Shifat Shalaat An-Nabi r karya Al-Albani رحمه الله : 3/832).

————————————————————————-

TARJIH ANTARA MADZHAB IMAM AHMAD DAN IMAM SYAF’I

Barangsiapa yang memperhatikan kedua pendapat tersebut, dia akan mengetahui bahwa pendapat Imam Syafi’i merupakan pendapat yang lebih mendekati kebenaran dan yang berjalan bersama dalil. Hal ini dapat terlihat dari hadits Abu Humaid As-Sa’idi radiallohu anhu,, yang menjelaskan tentang tata cara shalat Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, secara terperinci. Berikut ini penjelasan tentang hadits tersebut:

Abu Humaid radiallohu ‘anhu, membedakan antara duduk diakhir shalat dengan duduk yang bukan diakhir shalat. Tatkala beliau menjelaskan tentang duduk yang bukan akhir shalat, beliau menyebutnya dengan lafadz “Dan jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy)”. Dari lafadz ini menunjukkan bahwa duduk iftirasy dilakukan dipertengahan shalat, dan bukan akhir shalat. Penyebutan lafadz “dua raka’at” bukanlah maksud dari riwayat ini, namun maksudnya adalah “raka’at yang bukan akhir shalat”. Berdasarkan beberapa alasan berikut:

Pertama: Mafhum dari lafadz setelahnya “Dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir” menunjukkan bahwa lafadz sebelumnya bermakna yang bukan raka’at terakhir.
Kedua: Mafhum Al-‘Adad menurut para ahli ushul termasuk diantara dalil yang paling lemah. Yang dimaksud Mafhum Al-‘Adad adalah menyandarkan satu hukum kepada bilangan tertentu yang disebut dalam sebuah nash. Seperti contoh, firman Allah Ta’ala:

{ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً } [ النور : 4].

“Maka cambuklah mereka delapan puluh kali cambukan” (QS. An-Nur: 4).

Maka difahami dari ayat ini bahwa pencambukan tersebut dilakukan sebanyak delapan puluh kali, tidak lebih dan tidak pula kurang dari jumlah tersebut. Tetapi pemahaman ini tidak sepenuhnya bisa dijadikan dalil pada setiap tempat, namun harus dikembalikan kepada penguat (qorinah) yang ada. Seperti contoh hadits Abu Hurairah radiallohu anhu, bahwa beliau berkata:

كَانَ لِسُلَيْمَانَ سِتُّونَ امْرَأَةً فَقَالَ لأَطُوفَنَّ عَلَيْهِنَّ اللَّيْلَةَ فَتَحْمِلُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ فَتَلِدُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ غُلاَمًا فَارِسًا يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَمْ تَحْمِلْ مِنْهُنَّ إِلاَّ وَاحِدَةٌ فَوَلَدَتْ نِصْفَ إِنْسَانٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ كَانَ اسْتَثْنَى لَوَلَدَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ غُلاَمًا فَارِسًا يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ.

“Sulaiman memiliki 60 istri, lalu beliau mengatakan: Saya akan berkeliling mendatangi mereka pada malam hari ini, sehingga setiap dari mereka mengandung, lalu setiap dari mereka melahirkan seorang anak yang menjadi penunggang kuda yang akan berperang dijalan Allah. Namun tidak ada yang hamil dari mereka kecuali satu orang yang kemudian melahirkan setengah manusia. Maka Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bersabda: Sekiranya ia mengatakan “Insya Allah”, niscaya akan melahirkan setiap mereka seorang anak lelaki yang menjadi penunggang kuda dijalan Allah.”[1]

Perhatikan penyebutan jumlah 60 istri dalam hadits ini tidak menunjukkan bahwa istri beliau tidak lebih dari itu, berdasarkan riwayat-riwayat lain yang menyebutkan jumlah yang berbeda dari yang disebutkan dalam hadits ini. Berkata An-Nawawi tatkala mengomentari hadits ini:

وَفِي رِوَايَةٍ : (( سَبْعُونَ )) وَفِي رِوَايَةٍ : (( تِسْعُونَ )) وَفِي غَيْرِ صَحِيحِ مُسْلِمٍ (( تِسْعٌ وَتِسْعُونَ )) وَفِي رِوَايَةٍ : (( مِائَةٌ )) . هَذَا كُلُّهُ لَيْسَ بِمُتَعَارِضٍ لأَنَّهُ لَيْسَ فِي ذِكْرِ الْقَلِيْلِ نَفْي الْكَثِيْرِ ، وَقَدْ سَبَقَ بَيَان هَذَا مَرَّات ، وَهُوَ مِنْ مَفْهُومِ الْعَدَدِ ، وَلاَ يُعْمَلُ بِهِ عِنْدَ جَمَاهِيْرِ اْلأُصُولِيِّينَ.

“Dalam satu riwayat “70”, dan dalam riwayat lain “90”, dan dalam riwayat di luar shahih Muslim “99”, dan dalam riwayat lain “100”. Ini semua tidak bertentangan, sebab penyebutan bilangan yang sedikit tidak menafikan yang banyak. Telah berkali-kali penjelasan tentang hal ini. Dan ini termasuk mafhum al-‘adad, dan itu tidak diamalkan menurut kebanyakan dari para ahli ushul”.[2]

Al-Hafidz Ibnu Hajar juga mengatakan :

وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ دَلاَلَةَ مَفْهُوم الْعَدَدِ لَيْسَتْ يَقِيْنِيَّة إِنَّمَا هِيَ مُحْتَمَلَةٌ

“Dan yang benar bahwa penunjukan mafhum al ‘adad tidaklah yakin (tidak bersifat pasti), namun hanya bersifat kemungkinan”.[3]
Jika kita telah memahami hal ini, maka yang dimaksud dalam hadits tersebut bukanlah “dua raka’at”, namun maknanya adalah “duduk yang bukan raka’at terakhir”. Sehingga semakin dikuatkan dengan hadits Nabi – bahwa beliau bersabda:

(( فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلاَةِ فَاطْمَئِنَّ وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ)).

“Maka jika engkau duduk di pertengahan shalat, maka lakukanlah thuma’ninah, dan hamparkan paha kirimu – agar engkau duduk diatasnya – (duduk iftirasy), lalu lakukanlah tasyahhud”[4]

Maka hadits ini menjelaskan tentang keadaan duduk iftirasy tersebut dilakukan dipertengahan shalat, sedangkan lafadz hadits Abu Humaid “dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir”, dengan berbagai lafadznya merupakan nash yang bersifat manthuq sharih (yaitu penunjukkan lafadz yang sesuai pada peletakannya), dan manthuq lebih didahulukan daripada mafhum. Wallahul muwaffiq.

Adapun hadits Aisyah, Wail bin Hujr dan Abdullah bin Zubair, yang menjelaskan tentang duduk iftirasy, tidak menyebutkan secara terperinci apakah duduk tersebut dilakukan pada pertengahan shalat ataukah pada akhirnya, yang menunjukkan bahwa hadits tersebut global dan tidak tafshil (terperinci). Jika kita beramal berdasarkan keumuman duduk iftirasy dalam hadits tersebut, lalu bagaimana dengan keumuman hadits Abdullah bin ‘Umar yang mengatakan:

إِنَّمَا سُنَّةُ الصَّلاَةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِيَ الْيُسْرَى.

“Sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan menghamparkan (kaki) kirimu”[5]

Beliau hanya menyebutkan duduk tawarruk dalam shalat dan tidak merinci apakah duduk dipertengahan shalat ataukah di akhir shalat.
Jika ada yang berkata: Hadits Wail bin Hujr dan yang semisalnya menyebutkan cara duduk pada shalat dua raka’at, yang menunjukkan keumuman setiap shalat dua raka’at.

Maka kami menjawab: Hadits Ibnu ‘Umar lebih umum lagi, dimana Ibnu ‘Umar radiollohu ‘anhu, mengatakan “Sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk)” dan beliau tidak menyebutkan raka’at ke berapa, dan shalatnya berapa raka’at. Maka jika anda beramal dengan keumuman hadits Wail dan yang semisalnya, maka amalkan pula hadits Abdullah bin ‘Umar secara umum, dengan duduk tawarruk pada setiap duduk ketika shalat.

Demikian pula, kita mengetahui bahwa shalat yang memiliki satu tasyahhud bukan hanya shalat yang berjumlah dua raka’at, namun disana ada shalat yang berjumlah satu raka’at saja, seperti shalat witir, ada pula shalat tiga rakaat dengan satu tasyahhud, empat raka’at dengan satu tasyahhud, lima raka’at dengan satu tasyahhud, tujuh raka’at dimana beliau duduk tasyahhud pada raka’at keenam dan tidak salam, lalu bangkit menuju raka’at yang ketujuh lalu salam, Sembilan raka’at dan beliau duduk diraka’at yang kedelapan dan tidak salam, lalu melanjutkan keraka’at yang kesembilan lalu salam. Nah, bagaimana anda menyikapi cara duduk di dalam shalat tersebut? Sementara shalat tersebut hanya menyebutkan shalat yang “dua raka’at”. Namun jika kita memahaminya sebagaimana yang dipahami oleh Imam Asy-Syafi’i رحمه الله, maka setiap permasalahan tentang tata cara duduk tersebut dapat difahami dengan baik berdasarkan hadits-hadits yang datang menjelaskan tentang permasalahan ini.

Kesimpulannya bahwa hadits Abu Humaid radiallohu ‘anhu, adalah hadits yang menjelaskan tentang tata cara Shalat Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, pada seluruh shalat, apakah itu shalat yang memiliki satu tasyahhud, maupun yang memiliki dua tasyahhud. Jika duduk dilakukan dipertengahan shalat, maka yang dilakukan adalah duduk iftirasy, dan jika duduk dilakukan pada akhir shalat, maka yang dilakukan adalah duduk tawarruk. Sedangkan selain hadits Abu Humaid radillohu ‘anhu, merupakan hadits yang bersifat umum, maka hadits yang bersifat umum/global tersebut semestinya dibawa kepada hadits Abu Humaid yang merinci dan menjelaskan. Wallahul muwaffiq.

Dan dari kesimpulan ini juga menunjukkan lemahnya pendapat kelima yang mengatakan bolehnya memilih duduk mana saja yang dia inginkan.

Sumber : Risalah Ilmiah “Tatacara Duduk Tasyahhud Akhir Dalam Setiap Shalat” Hal : 43-55
________________________________________
[1] (HR. Muslim, Kitabul Aymaan, Bab: Al-Istitsnaa’: 1654).
[2] (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi: 11/120).
[3] (Fathul Bari: 3/146).
[4] (HR. Abu Dawud dari Rifa’ah bin Rafi’, dan Al-Albani berkata: sanadnya hasan. Lihat kitab: Ashlu Shifatis Shalaah, Al-Albani: 3/831-832).
[5] (HR. Bukhari: /827, bersama Fathul Bari).

————————————————————————————-

PERKATAAN PARA ‘ULAMA YANG MENGUATKAN PENDAPAT IMAM SYAFI’I
DALAM MASALAH DUDUK TASYAHHUD AKHIR

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar رحمه الله :

وَفِي هَذَا الْحَدِيْثِ حُجَّةٌ قَوِيَّةٌ لِلشَّافِعِيِّ وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ فِي أَنَّ هَيْئَةَ الْجُلُوسِ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَوَّلِ مُغَايِرَةٌ لِهَيْئَةِ الْجُلُوسِ فِي اْلأَخِيْرِ ، وَخَالَفَ فِي ذَلِكَ الْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَفِيَّةُ فَقَالُوا : يُسَوِّي بَيْنهمَا ، لَكِنْ قَالَ الْمَالِكِيَّةُ : يَتَوَرَّكُ فِيهِمَا كَمَا جَاءَ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَخِيْرِ ، وَعَكَسَهُ اْلآخَرُونَ.
ثُمَّ قَالَ : وَاسْتَدَلَّ بِهِ الشَّافِعِيُّ أَيْضًا عَلَى أَنَّ تَشَهُّدَ الصُّبْحِ كَالتَّشَهُّدِ اْلأَخِيْرِ مِنْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ قَوْلِهُ ” فِي الرَّكْعَةِ اْلأَخِيْرَةِ ” ، وَاخْتَلَفَ فِيهِ قَوْل أَحْمَدَ ، وَالْمَشْهُورُ عَنْهُ اِخْتِصَاصُ التَّوَرُّكِ بِالصَّلاَةِ الَّتِي فِيهَا تَشَهُّدَانِ.

“Dalam hadits ini merupakan hujjah yang kuat bagi Imam Asy-Syafi’i dan yang sependapat dengannya bahwa keadaan duduk pada raka’at yang pertama berbeda dengan duduk pada raka’at terakhir. Dan Al-Malikiyyah dan Al-Hanafiyyah menyelisihi hal tersebut dan mengatakan: disamakan antara keduanya. Namun Al-malikiyyah mengatakan: dia bertawarruk pada dua duduk tersebut seperti yang terdapat pada tasyahhud akhir, sedangkan yang satunya (Al-Hanafiyyah) sebaliknya.

Lalu Al-Hafidz melanjutkan: dan Imam Syafi’i menjadikan ini sebagai dalil pula bahwa tasyahhud diwaktu subuh adalah seperti tasyahhud akhir yang berbeda dengan yang lainnya, berdasarkan keumuman perkataannya “pada raka’at terakhir”, dan diperselisihkan perkataan imam Ahmad padanya, dan yang masyhur dari beliau adalah duduk tawarruk dikhususkan pada shalat yang memiliki dua tasyahhud.[1]

Berkata An-Nawawi رحمه الله: berkata Imam Syafi’i dan pendukungnya:

فَحَدِيْثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَأَصْحَابِهِ صَرِيْحٌ فِي اْلفَرْقِ بَيْنَ التَّشَهُّدَيْنِ. وَبَاقِيَ اْلأَحَادِيْثُ مُطْلَقَةٌ فَيَجِبُ حَمَلَهَا عَلَى مُوَافَقَتِهِ, فَمَنْ رَوَى التَّوَرُّكَ أَرَادَ اْلجُلُوْسَ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَخِيْرِ, وَمَنْ رَوَى اْلاِفْتِرَاشَ أَرَادَ اْلأَوَّلَ. وَهذَا مُتَعَيِّنٌ لِلْجَمْعِ بَيْنَ اْلأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ لاَ سِيَمَا وَحَدِيْثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَافَقَهُ عَلَيْهِ عَشَرَةٌ مِنْ كِبَارِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ. وَاللهُ أَعْلَمُ.

“Hadits Abu Humaid radiallohu ‘anhu dan para shahabatnya jelas membedakan antara dua duduk tasyahhud, sedangkan hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang mutlak, sehingga wajib untuk dipahami dengan tepat. Adapun yang meriwayatkan hadits mengenai duduk tawarruk, maka yang dimaksud adalah duduk pada tasyahhud akhir, dan yang meriwayatkan tentang duduk iftirasy, yang dimaksud adalah tasyahhud awal. Sehingga harus dilakukan penggabungan antara hadits-hadits yang shahih, terlebih lagi hadits Abu Humaid As-Sa’idi telah disetujui oleh sepuluh orang dari para pembesar shahabat Radhiallahu ‘Anhum. Wallahu a’lam”.[2]

Dan berkata Al-Mubarakfuri رحمه الله :

وَاْلإِنْصَافُ أَنَّهُ لَمْ يُوجَدْ حَدِيثٌ يَدُلُّ صَرِيحًا عَلَى اِسْتِنَانِ الْجُلُوسِ عَلَى الرِّجْلِ الْيُسْرَى فِي الْقَعْدَةِ اْلأَخِيرَةِ ، وَحَدِيثُ أَبِي حُمَيْدٍ مُفَصَّلٌ فَلْيُحْمَلْ الْمُبْهَمُ عَلَى الْمُفَصَّلِ.

“Secara insaf (Yang pertengahan/adil) adalah bahwa tidak didapatkan satupun hadits yang menunjukkan secara jelas tentang disunnahkannya duduk diatas kaki kiri (duduk iftirasy, pen) pada duduk terakhir. Dan hadits Abu Humaid terperinci, sehingga yang global dibawa maknanya kepadanya yang terperinci”.[3]

Berkata Abut Thayyib Aabadi رحمه الله :
وَفِي حَدِيث أَبِي حُمَيْدٍ حُجَّةٌ قَوِيَّةٌ صَرِيحَةٌ عَلَى أَنَّ الْمَسْنُونَ فِي الْجُلُوسِ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَوَّلِ الاِفْتِرَاشُ وَفِي الْجُلُوسِ فِي اْلأَخِيْرِ التَّوَرُّكُ وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيّ وَهُوَ الْحَقُّ عِنْدِي وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَم.

“Dalam hadits Abu Humaid radiallohu ‘anhu merupakan hujjah yang kuat dan jelas bahwa yang disunnahkan duduk pada tasyahhud pertama dengan iftirasy dan pada duduk akhir dengan tawarruk. Dan ini adalah madzhab Syafi’i dan inilah yang benar menurutku. Wallahu ta’ala a’lam. “[4]

Asy-Syaukani رحمه الله mengatakan:

وَالتَّفْصِيلُ الَّذِي ذَهَبَ إلَيْهِ أَحْمَدُ يَرُدُّهُ قَوْلُ أَبِي حُمَيْدٍ فِي حَدِيثِهِ اْلآتِي )) فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلأَخِيرَةِ (( وَفِي رِوَايَةٍ ِلأَبِي دَاوُد )) حَتَّى إذَا كَانَتْ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيهَا التَّسْلِيمُ ((.

“Dan rincian yang menjadi pendapat Imam Ahmad tertolak dengan ucapan Abu Humaid dalam haditsnya “jika duduk pada raka’at terakhir” dan pada riwayat Abu Dawud “hingga pada raka’at yang padanya terdapat salam”. (Nailul Authar: 1/563) [5]

Kemudian pendapat Imam Syafi’i ini juga dikuatkan oleh Ibnu Hazm رحمه الله .
Berkata Ibnu Hazm رحمه الله :

” فَفِيْ الصَّلاَةِ أَرْبَعُ جَلَسَاتٍ : جِلْسَةُ بَيْنَ كُلِّ سَجْدَتَيْنِ, وَجِلْسَةُ إِثْرِ السَّجْدَةِ الثَّانِيَّةِ مِنْ كُلِّ رَكْعَةٍ, وَجِلْسَةُ لِلتَّشَهُّدِ بَعْدَ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَّةِ, يَقُوْمُ مِنْهَا إِلىَ الثَّالِثَةِ فِيْ اْلمَغْرِبِ, وَاْلحَاضِرُ فِيْ الظُّهْرِ وَاْلعَصْرِ وَاْلعِشَاءِ اْلآخِرَةِ, وَجِلْسَةُ لِلتَّشَهُّدِ فِيْ آخِرِ كُلِّ صَلاَةٍ, يُسَلِّمُ فِيْ آخِرِهَا. وَصِفَةُ جَمِيْعِ اْلجُلُوْسِ اْلمَذْكُوْرِ أَنْ يَجْعَلَ أَلِيْتِهِ اْليُسْرَى عَلَى بَاطِنِ قَدَمِهِ اْليُسْرَى مُفَتَرِشًا لِقَدَمِهِ, وَيَنْصِبُ قَدَمَهُ اْليُمْنَى ,رَافِعًا لِعَقِبِهَا,مُجَلِّسُا لَهَا عَلَى بَاطِنِ أَصَابِعِها, إِلاَّ اْلجُلُوْس الّذِيْ يَلِي السَّلاَم مِنْ كُلِّ صَلاَةٍ, فَإِنَّ صِفَتَهُ أَنْ يَفْضِيَ بِمَقَاعِدِهِ إِلىَ مَا هُوَ جَالِسٌ عَلَيْهِ, وَلاَ يَجْلِس عَلىَ بَاطِنِ قَدَمِهِ فَقَطّ “.

“Di dalam shalat ada empat keadaan duduk: duduk diantara dua sujud, duduk setelah sujud kedua dari setiap raka’at (duduk istirahat- pen-), duduk tasyahhud setelah raka’at kedua, lalu bangkit menuju raka’at ketiga pada shalat maghrib, dan shalat muqim (tidak musafir) pada shalat dzuhur, Ashar dan Isya, dan duduk untuk tasyahhud pada akhir setiap shalat, yang dia mengucapkan salam pada akhirnya. Dan semua cara duduk yang disebutkan adalah dengan menjadikan bokong kirinya berada di atas telapak kaki kirinya dengan menidurkan kakinya tersebut, dan menegakkan kaki kanannya, mengangkat tumitnya mendudukkannya diatas bagian dalam jari jemari (kakinya) tersebut (maksud beliau adalah duduk iftirasy -pen-). Kecuali duduk yang diikuti dengan salam dari setiap shalat, maka sesungguhnya caranya adalah dengan melekatkan tempat duduknya di bokongnya) ke tempat yang dia duduk di atasnya, dan tidak hanya duduk di atas telapak kakinya.”[6]

Juga dikuatkan oleh salah seorang tokoh dari madzhab hanafi yang bernama Abdul Hay Al-Laknawi رحمه الله , beliau berkata:

(وَالإِنْصَافُ أَنَّهُ لَمْ يُوْجَدْ حَدِيْثٌ يَدُلُّ صَرِيْحًا عَلَى اسْتِنَانِ الجُلُوْسِ عَلَى الرِّجْلِ اليُسْرَى فِي القَعْدَةِ الأَخِيْرَةِ ,وَحَدِيْثُ أَبِيْ حُمَيْدٍ مُفَصَّلٌ فَلْيُحْمَلِ المُبْهَمُ عَلَى المُفَصَّلِ)

“Secara insaf, bahwa tidak ditemukan satupun hadits yang menunjukkan dengan jelas tentang disunnahkannya duduk di atas kaki kiri pada duduk terakhir, Dan hadits Abu Humaid lebih terperinci, maka yang global dibawa maknanya kepada yang terperinci”.[7]
Semoga penjelasan ini dapat kita fahami dengan baik dan memberikan tambahan ilmu kepada para pembaca sekalian.
wallahul haadii ilaa sabiilir rasyaad.

Sumber : Risalah Ilmiah “ Tatacara Duduk Tasyahhud Akhir Dalam Setiap Shalat” Hal : 56-67
________________________________________
[1] (Fathul Bari:2/360).
[2] (Lihat Kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 3/431. cetakan daar Ihyaa’ At Turats Al-‘Arabi, tahqiq Muhammad Najib Al-Muthi’i. Lihat pula dalam Syarah Muslim: 2/81)
[3] (Tuhfatul Ahwadzi: 2/156)
[4] (Aunul Ma’bud: 3/171).
[5] Namun Asy-Syaukani – rahimahullah – berpendapat bahwa boleh duduk iftirasy pada raka’at terakhir yang padanya terdapat dua tasyahhud, namun duduk tawarruk lebih afdhal, disebabkan karena hadits-hadits yang datang tentang duduk tawarruk lebih banyak dan lebih jelas.(lihat pula kitab : As-sailul jarrar, Asy-Syaukani: 1/220. Cetakan darul kutub al-ilmiyyah, cetakan pertama.
[6] (Al-Muhalla: 4/125).
[7] (At-ta’liq al-mumajjad, hal:111,no:12). lihat kitab: Abkaar al-minan fi tanqiidi atsaar as-sunan, karya Muhammad bin Abdurrahman Al-Mubarakfuri, takhrij Abul Qasim bin Abdil Adzhim, cetakan: idaratul buhuts al-islamiyyah bil jami’ah as-salafiyyah, banaris, India, cetakan pertama, tahun 1410 H-1990 M).

————————————————————

KESIMPULAN

Dari apa yang telah kami paparkan pada pembahasan tersebut di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan yang bersamanya, yang menjelaskan bahwa cara duduk terakhir yang benar adalah duduk tawarruk, dan bukan duduk iftirasy.

Ketika kami menguatkan pendapat ini, bukan berarti kami mencela pendapat yang menyelisihi pendapat kami, apabila yang nampak baginya menyelisihi apa yang telah kami sebutkan, dan demikian pula sebaliknya. Namun bagi seorang muslim, setelah nampak baginya pendapat yang lebih kuat dalam satu masalah, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menyatakan “kebenaran lebih patut untuk diikuti”.

Semoga Allah Subhaahahu wata’aala memberi taufik kepada kita semua, dan semoga Allah senantiasa memberikan istiqamah kepada kita, agar terus berjalan diatas jalan Allah Subhaahahu wata’aala, hingga kita bertemu dengan-Nya.

Sumber : Risalah Ilmiah “Tatacara Duduk Tasyahhud Akhir Dalam Setiap Shalat” Hal : 68-69
Dipulikasikan oleh : ibnuramadan.wordpress.com
===================

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Maret 5, 2009 inci ZZ..SUNNAH..ZZ

 

Tinggalkan komentar